Jumat, 16 November 2012

Mengintip Masa Depan 2

sebelumnya di- Mengintip Masa Depan 1
Mereka tertawa renyah, menciptakan keramaian sendiri dikamar Dafa. Sepasang sepupu itu memang saling melengkapi, sekali lagi suara tawa itu memecah kesunyian ditengah hari yang begitu panas ini. Tapi sepertinya matahari tak mampu meredam gelak tawa mereka.
"Ra liat itu deh muka kamu hahaha lucu sekali" ucap Dafa mengejek sepupu jauhnya itu diselangi tawa canda. Dan Maudira hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah kakak sepupunya itu.

***

"Wuih kamu rapi bener Ra, kita kan mau makan diluar doang" komentar Dafa atas penampilan sepupunya yang terlihat sangat anggun itu. "Tapi, cantik kok hehehe"

"Huh ... Aku kan cuma pengin terlihat rapi aja Daf biar orang juga gak risih sama aku. Hehe makasih Dafa, yaudah yuk kita jalan" balas Maudira sumringah. Penampilannya malam ini memang berbeda jauh dari tiga tahun sebelumnya yang acak-acakkan tak mempedulikan pandangan orang sekalipun terhadapnya.

Terdengar suara merdunya David Cook melantunkan lagu Always Be My Baby yang dari tadi diputarkan oleh sipemilik kafe sederhana ini. Menambah kesan romantis untuk sepasang kekasih yang memang sengaja membawa langkah kakinya masuk ke dalam kafe dengan nuansa keromantisan ini. Dafa dan Maudira memilih dekat jendela. Mata Maudira terus melekatkan pandangan ke arah luar kafe, mengamati dan menelusuri sesuatu yang jauh dari pandangannya selama ini. Dikotanya ia hanya mengenal sebuah kemacetan.

"Minum dulu Ra cokelat panasnya" ucapan Dafa membuyarkan lamunannya itu.

"Kamu besok mau kemana Ra ?" tanya Dafa pada sepupunya yang sedang menyeruput cokelat panasnya itu hati-hati.

"Aku mau jalan-jalan aja Daf, mau cari sesuatu yang unik yang tak ku temui di Jakarta." balas Maudira setelah meletakkan cangkir minumannya diatas meja mereka tanpa menatap wajah Dafa sedetik pun, kemudian ia melempar pandangannya lagi ke arah jalanan didepan kafe itu.

Pepohonan-pepohonan dipinggir jalan itu seperti sebuah payung bagi aspal yang terasa panas ketika matahari menemaninya.

***

BRUKK !!!

Barang belanjaan yang baru tadi ia beli terhempas ke lantai, keluar dari tempat persembunyiannya. Tak lama kemudian ia langsung mendengus kesal tapi hanya bisa tertahan dihatinya. Dengan perlahan ia membereskan semuanya.

DEG !

Hatinya berdegup kencang, tak teraturan, seandainya oarng yang didepan matanya kini bisa mendengarnya, matilah ia, gugup malu. Entah apa yang membuat alunan detak jantungnya itu menjadi seperti itu.

"Sorry ya tadi gue gak lihat kalo ada orang" ucap lelaki bertubuh tegap itu, dengan rambut keritingnya dan tatapan menusuk itu. Maudira tak bisa menjawab, bibirnya kelu. Banyak kosakata yang tersimpan tapi tak mampu ia keluarkan.

Setelah barang belanjaannya rapi, Maudira buru-buru meninggalkan lelaki itu tanpa satu kata pun. Rasanya ia tak ingin lama-lama dekat dengan lelaki yang menawan itu.

***

"Oh jadi nama kamu Maudira Anjani" ucap lelaki disebelahnya itu.

"Iya Din, kok kita bisa sama-sama dari Jakarta ya ? Kebetulan banget." timpal Maudira.

"Bukan kebetulan namanya, itu takdir. Gak ada kebetulan didunia ini karena semuanya udah direncanakan-Nya dan terjadi pada waktu yang tepat"

"Iya ya. Tapi kadang takdir itu menyakitkan Din" tersirat kesedihan dimata perempuan itu. Teringat lagi masa lalu yang begitu menyakitkan yang sempat mematikan imajinasinya terhadap dunia.

Percakapan mereka terus berjalan. Membicarakan diri masing-masing tapi tetap menyatu, sama sekali tak terlihat kejenuhan dari raut wajah mereka. Hingga senja mulai menampakkan diri, mereka masih terhanyut dengan perasaan mereka masing-masing. Akhirnya ponsel Maudira bergetar, tampak sebuah nama dilayar ponselnya "Dafa".

"Siapa ? Pacar kamu ya ?" Dino coba mengintrogasi Dira setelah ia selesai menelepon.

"Bukan kok, itu sepupu aku. Hm aku disuruh pulang nih. Aku duluan ya" ucap Maudira mengakhiri pertemuan mereka.

Dira langsung melangkah ke arah pintu keluar kafe itu. Tak sadar kalau  Dino tiba-tiba telah berada disampingnya dan menggenggam jemarinya.

"Aku antar yuk" ucap Dino seraya menarik tangan perempuan itu yang terasa lembut.

Tanpa penolakkan perempuan berparas Minang itu menghempaskan tubuhnya diatas sepeda motor berwarna merah milik laki-laki yang baru tadi siang dikenalnya karena tak sengaja.

Batam menjadi begitu indah dimatanya, lebih indah dari tiga tahun yang lalu ia kesini. Apa mungkin karena lelaki yang berada didepannya, yang tengah memboncenginya dengan sangat hati-hati. Lelaki yang memiliki senyum seperti pangeran berkuda putih, yang telah berhasil mengobark-abrik hatinya hari itu. Cuaca kota Batam yang kala itu agak sedikit mendung menjadi tak terasa karena jaket Dino yang dipakainya, menyelimuti tubuh mungilnya itu. Senyum bahagia terus-menerus terpancar dari lengkungan bibir tipisnya itu serta mata cokelatnya.

***

Dua tahun setengah telah berlalu, minggu depan adalah hari pernikahannya dengan Dino. Selama waktu itu mereka saling mengisi, Jakarta, menjadi tempat kedua yang menyaksikan berlian-berlian cinta yang terpancar dari dua pasang mata insan ini. Pertemuan mereka memang telah direncanakan oleh Sang Kuasa hingga tak dapat mereka tolak. Berawal dari tabrakan tubuh hingga barang bawaan Dira berserakan saat mereka di Batam. Tapi, malam ini wajah Dira tak terlihat bahagia, matanya memancarkan kekhawatiran yang begitu mendalam. Tangannya masih menggenggam ponselnya. Menatap terus menatap ke layar ponselnya. Tak menyiratkan sebuah kepastian.

"Din ... kamu dimana ? Aku takut." batin perempuan itu menjerit, mengharap penuh perih.

Tak lama ponselnya berdering, melantunkan lagu The Way You Look At Me-Christian Bautista dengan damai. Dengan sergap ia langsung meraih ponselnya yang tadi ia hempaskan ke tempat tidurnya.

"Dino" hatinya berkata. Kemudian ditekan tombol hijau diponselnya dan terdengar suara merdu kekasihnya itu yang meleburkan ketakutannya malam ini.

"Maaf ya sayang, tadi handphone aku lowbat. Aku udah sampai dihotel nih. Maaf ya aku sudah membuatmu khawatir" ucap lelaki bertubuh tegap diseberang sana.

"Iya Din, kamu jaga diri baik-baik ya. Kamu pulang lusa kan ?" balas kekasih pria yang berusia tiga tahun diatas wanita itu.

"Iya sayang, lusa aku pasti udah di Jakarta. Dan lusanya lagi aku siap melingkarkan cincin dijari manismu sayang. Aku sayang kamu. Aku pasti pulang"

"Ingat ya disini ada aku yang menunggu kamu pulang untuk memakaikan cincin dijemari manisku. Kamu. Aku sayang kamu, Dino Pratama" ucapan Dira akhirnya mengakhiri pembicaraan mereka tengah malam itu.

Paris, membuatkan jarak untuk sepasang kekasih yang tinggal beberapa hari lagi akan bersatu dengan sebuah janji bersama. Jarak membuat seseorang menyadarkan akan kerinduannya pada seseorang yang dituju, begitulah yang dialami Dira malam ini.

***

Ponsel Dira berdering saat ia sedang asik membaringkan tubuh mungilnya itu diatas tempat tidurnya yang dua hari hari lagi akan ia tinggalkan. Tertera disana sebuah nomor tanpa nama. Dengan ragu ia menjawab panggilan itu.

"Halo, ini Dira ?" terdengar suara disana dengan isakan tangis dibelakangnya.

"Iy ... iya. Ini siapa ?" jawab Dira ragu dan kebingungan.

"Ini tantenya Dino, Dir. Kamu tolong keluar rumah ya sebentar disana sudah ada mobil yang menjemput kamu. Kamu ikut aja ya, jangan banyak tanya."

TUT...TUT...TUT

Terdengar sambungan telepon terputus. Ia langsung melangkahkan kakinya keluar dengan pikiran yang masih bingung. Benar, disana ternyata sudah ada sebuah mobil terpakir.

Dengan perasaan yang tak menentu, ia hanya bisa berdiam diri, mengikuti langkah kaki seseorang didepannya. Langkah mereka terhenti pada kamar bernomor 213. Ia masih kebingunan menatap orang-orang yang berada disana, semuanya terasa asing baginya. Tangannya memberanikan diri membuka pintu kamar itu.

"Dinoooo ...." ucap Maudira lemas kemudian terasa gelap semuanya.

Saat ia membuka mata hanya ada seorang wanita yang ia kenali, mamanya Dino. Ia coba memberikan kekuatan pada calon menantunya itu.

"Sabar ya sayang, kita semua disini memang kehilangan Dino, tapi kamu jangan terlalu larut ya. Kamu masih muda, jalanmu masih panjang dan kamu gak boleh terpaut sama masa lalu." ucap wanita bermata sipit dihiasi oleh kacamata, terlihat agal bengkak dari matanya.

***

TOK!!! TOK!!! TOK!!!

Suara ketukan tangan seseorang pada pintu kamarnya terdengar keras. Tersentak ia dari tempat tidurnya. Dengan mata yang masih menerawang kamarnya sendiri, ia mengabaikan suara itu, hanya dijawab sekenanya.

Berkali-kali ia mencubit lengannya sendiri. "Aw ..." terasa sakit karena cubitannya sendiri.

***

Raut mukanya masih tetap tak percaya, matanya masih menerka-nerka. Setelah semuanya ia ceritakan pada Dafa, sepupunya lewat telepon. Dafa hanya menanggapinya santai, padahal sepupunya itu tengah kebingungan setengah matimencari-cari yang sebenarnya.

"Udah ah kamu siap-siap sana, nanti aku jemput" perintah kakak sepupunya itu.

Tak ada balasan dari ujung sana. Hening.

"Udah. Udah. Kamu mandi sana jangan melamun terus. Masa depan kamu yang nyatanya tengah menunggumu disini. Jangan diintip-intip segala makanya." ledek sepupunya diseberang sana dengan tawa yang menyudutkannya.

KLIK ! Sambungan telepon mereka terputus.

Dira masih tak habis pikir. Yang selama ini terjadi hanyalah mimpi. Entah mimpi buruk atau mimpi indah. Ia tak mengerti. Tapi, itu semua terasa seperti bukan mimpi, ia masih bisa merasakan tangan halus lelaki yang bernama Dino itu. Pipinya juga masih terasa basah karena tangisnya yang menigiri kepergian kekasihnya dalam mimpi itu.

***

Enam bulan kemudian, novel pertamanya terbit. Mengintip Masa Depan. Dengan cover seorang wanita dan bayangan seorang lelaki dibawah sinar rembulan terpisah jarak. Terinspirasi dari mimpinya sendiri. Imajinasinya yang begitu kuat.

"Imagination more important than knowledge"-Albert Einstein
syifamaudiyah:)

Tidak ada komentar: