Sabtu, 29 November 2014

Biar Kita Saja

Masih dengan cuaca yang sama, Bekasi dengan langit yang ungu dan Kamu. Kamu yang entah kapan akan tetap disini. Kamu yang hampir tak pernah kutatap. Kamu yang hampir selalu menghadiri hariku tanpa matahari dengan cerahnya. Kamu yang tiba-tiba pergi lalu kembali, lalu? (Jangan pergi lagi). Dan aku. Aku yang ber-apa-ada-nya dihadapan Mu. Aku yang menikmati ocehan Mu dilini waktu. Aku yang mengagumi senyuman Mu. Aku yang meneteskan kristal bening saat berat suara Mu mengaum kala itu. Dan Aku yang tiba-tiba mencintai Mu. Tanpa paksaan. Tanpa rencana. Tapi, dengan dentuman tak teratur serta kupu-kupu dalam perut Ku.

Aku, adalah lebih dari sekedar pengagum Mu yang tiba-tiba ingin lebih. Aku, adalah siperasa yang begitu sensitif bila tentang Mu. Aku, bisa menjadi bahkan mengalahi pekanya detektif, dan lagi-lagi itu hanya berlaku untuk Mu. Dan Aku, yang selalu cemburu ketika melihat bayangan Mu bercengkrama dengan mereka yang indah.

Bukan aku tak ingin menunjukkan,
Bukan aku tak ingin menjelaskan,
Bukan aku tak memahami.
Tapi tidak semua hal bisa ditunjukkan,
Tidak semua hal bisa dijelaskan,
Tidak semua hal bisa dipahami.

Termasuk cara Ku merengkuh dan mencintai Mu dengan aksara Ku.

Akan ada saatnya, suatu yang indah itu kan tercium wanginya tanpa harus kita sebarkan ke udara, Sayang.

Aku bukan seorang yang menunjukkan sana sini bahwa Aku yang mencintaimu. Menurut Ku, diamku cara mencintaimu dengan romantis. Tapi, Aku tidak kan menyangkal bila sewaktu-waktu Aku ingin membuat udara tahu, bahwa kita ada. Untuk kini, biar kita saja.


Tertanda,
Aku



Percaya atau tidak?
Dengan kalimat "the writer fall in love with the people who can find inspiring"?
Aku sih percaya. -

Minggu, 23 November 2014

Surat Untuk Tuan Gunung

Untuk Tuan Gunung

Hallo Tuan Gunung
Apa kabar? Pengagummu semakin banyak saja ya.. Tapi, bagaimana dengan rumahmu? Semakin kotorkah? Karena seringnya mereka menemuimu tapi lupa caranya bertamu? Bagaimana dengan dia?

Tuan Gunung, perkenalkan aku adalah salah satu manusia yang akan menjadi salah satu tamu-mu. Akan? Ya. Karena sesuatu masih mengikatku dan belum membiarkanku bebas memelukmu. Tapi..sebentar.. lupakan tentangku! Kembali ke tujuan penulisan surat ini.

Tuan Gunung, mungkin kamu sedang heran ya mengapa kutulis surat ini. Sama ku juga. Bagaimana ya menyampaikannya? Hm..

Tawa candamu menghibur saat ku sendiri
Aku disini dan kau disana
Hanya berjumpa via suara
Namun ku selalu menunggu saat kita akan berjumpa
Meski kau kini jauh disana
Kita memandang langit yang sama
Jauh dimata namun dekat dihati

Tunggu! Sepertinya lirik terakhir bisa membuatnya besar kepala dan ku tidak mau. Hff. Tapi yasudahlah...

Ah maaf, aku terlalu banyak basa-basi, langsung saja..

Jadi begini Tuan Gunung, kamu tentu sudah mengenal dia, dia yang akhir-akhir ini jadi sangat menggilaimu, selalu saja merindukanmu dan bilang ingin menemuimu lagi, dan lagi. Dia juga sipengagum Gie, salah satu pengagum dan sahabatmu yang sudah banyak menginspirasi pengagum-pengagummu yang lain. Dia pula yang hatinya pernah terluka hingga memutuskan menemuimu untuk menemukan caranya mengobati dan melupa. Juga dia yang bermimpi untuk menemukan Dinda-nya dipuncakmu, sebagai Zafran dia bilang, pemeran salah satu film di negeri kami yang tambah menyongsong kuat sosokmu, Tuan. Entah, ucapannya sebagai "bang Zafran" itu harus ku iya-i atau tidak. Ada yang bilang kamu begitu-gitu saja, tapi kenapa pengagummu semakin banyak?

Tuan, tolong beritahu dia jika dia datang menemuimu lagi. Seperti ini...
Selalu ada yang menunggu mereka pulang ketika pergi, termasuk dirinya.
Selalu ada alasan untuk kembali ke tempat yang disebut rumah. Entah apapun itu dan siapapun itu. Tolong bisikan ke organ cortinya dan pastikan kalau ia mendengarkan baik-baik apa yang kamu katakan dan dia memahami.
Tolong lembutkan keras kepala dan hatinya, serta sampaikan jangan suka ngambek :p tapi terima kasih atas "kado" yang berlatar gagah namun lembut sosokmu, Tuan. Oh ya Tuan, aku boleh minta tolong lagi ya, tolong jaga dia ketika bersamamu.

Hm.. Rasanya ini surat yang begitu absurd ya. Yasudah, aku mau tidur dulu ya, Tuan Gunung, lagi pula ini sudah lewat waktu bila disebut malam. Dadaaah. Jangan lupa sampaikan ya, Tuan. Terima kasih. Tunggu aku dirumahmu.

23 November 2014, 04.02 am

Salam hangat,
Aku

Sabtu, 22 November 2014

Dua Kata

Aku takut
Takut akan kenyataan
Aku takut
Meyakini bahwa disetiap pertemuan ada perpisahan
Disetiap kalimat sapa dan senyuman akan ada selamat tinggal dengan rasa mengganjal

Aku takut
Takut akan ini yang dari dulu kutakuti
Dan belum berhasil untuk ku uruti
Aku takut
Takut kamu yang nyatanya kini bersama
Membagi tawa, kesal, marah tiba-tiba seperti yang sudah-sudah
Menghilang entah ke negeri mana
Dan menyisakan asa

Dua kata, aku takut


Semoga ini bukan doa
-20-11-2014

Minggu, 09 November 2014

Tak Lagi Kamu

Seperti hujan yang menghapus debu-debu
Seperti malam yang menenggelamkan senja di ufuk
Seperti ini hatiku

Layunan memori berputar tanpa ku abai
Hati bergetar, menghangat, membeku, kemudian mencair
Aku bungkam, namun hatiku berteriak
Tanganku dingin, tapi dadaku menghangat
Mataku diam, tetapi kemudian pada sudutnya menghalir sesuatu

Bukan, bukan lagi tentangmu kini
Ada "dia" yang mulai menggantikan peranmu
Peranmu sebagai pemberhenti langkahku
Peranmu sebagai alat pemacu jantungku
Dan peranmu sebagai seseorang yang selalu ku tunggu
dan ku cari
Semoga, iya, tak lagi kamu ...


09-11-2014
Bersama degupan jantung yang menunggunya makan

Selasa, 04 November 2014

Surat Untuk Adik-Adik ...

Assalamu'alaikum, adik-adik SDN 9 Semende Darat Ulu...

Hai.. Perkenalkan namaku Syifa Maudiyah. Sstt.. Apakah kalian tahu arti dari nama depanku? Hm.. Iya benar, obat. Obat untuk keluarga, harapan sederhana mereka. Aamiin. Oh iya, bagaimana kabar kalian? Sedang apapun kalian, aku harap kalian dalam keadaan yang terbaik ya, Sayang.

Jujur, ketika mencoba menuliskan kata demi kata untuk berkenalan dengan kalian ini tiba-tiba terasa begitu rumit. Oh hm.. mungkin aku grogi. Ya aku termasuk orang yang mudah sekali grogi atau gugup bila bertemu dengan orang baru. Hm dan tentang pertanyaanku terhadap arti namaku. Sebenarnya ada hubungannya dengan apa yang aku jalani kini. Dulu, sebelum aku di anak tangga yang sedikit lebih tinggi ini, aku juga seperti kalian. Tepatnya, empat belas tahun yang lalu. Aku sama seperti kalian, belajar dengan cara yang kadang tak mudah untukku pahami begitu saja. Tetapi sekarang, aku baru saja masuk semester tiga kuliah di jurusan kebidanan di salah satu Politeknik Kesehatan di Jakarta. Ada bangga tersendiri ketika aku berhasil menjadi salah satu murid yang dapat belajar di jurusan kebidanan ini, Sayang. Aku lebih memahami diriku sebagai seorang perempuan, aku lebih banyak mengetahui tentang secuil dari ciptaan-Nya terhadap semesta ini, terhadap diriku, diri kalian. Kalian tahu rasanya melihat ibu-ibu cantik melahirkan dede-dede bayinya yang lucu dan menggemaskan? Aku pernah bahkan itu sudah menjadi lingkunganku kini. Melihat dan menyaksikan langsung perjuangan seorang Ibu demi anaknya melihat dunia bahkan yang menyentuhnya pertama kali dan mendengar suara tangisannya. Itu lebih dari sekedar senang ketika mendapat sepeda baru.

Hm..sebenarnya aku hingung mau menceritakan apa lagi kepada kalian, sungguh, aku gugup. Tapi terlintas dibenakku untuk membaginya. Kemarin, aku datang seminar dikampusku. Dan salah satu kalimat pembicaranya masih melekat dipikiranku hingga kini. "Orang yang paling mulia adalah orang yang berilmu". Dulu, ketika ku mau memasuki dunia SMA (Sekolah Menengah Atas), pikiranku sempat tercekat oleh rentetan kata yang terhubung menjadi "aku mau langsung kerja aja". Tapi ketika mendengar ucapan pembicara utama kemarin dalam seminar kampusku, aku dengan mudah mengatakan kalau pemikiranku waktu SMA adalah salah besar. Karena, dengan ilmu kita bisa menjadi siapapun, Sayang. Dengan ilmu, kita tak lagi direndahkan. Dengan ilmu, kita bisa memeluk dunia. Dan dengan ilmu, aku ingin menjadi ciptaan-Nya yang mulia. Samakah kalian?

Jangan pernah berhenti bermimpi dan mengejar ilmu ya, Sayang. Karena dengan ilmu aku dan kalian bisa mewujudkan mimpi-mimpi kita..

Salam sayang dari aku, Syifa Maudiyah. Tetap tersenyum menatap dunia.

Wassalamu'alaikum, adik-adik...

Sabtu, 27 September 2014

Aku dalam Semestaku

Mungkin pada jarak yang ku perkirakan dengan tempuhan setengah jam bila mengendari sepeda motor, kamu sedang sibuk-sibuknya dengan tugas-tugas yang tak pernah mentolerir pukul berapa kini, ia hanya kenal untuk diselesaikan. Tadi tak sengaja ku temui sosokmu yang sedang hangat-hangatnya bercengkrama dengan komputer jinjing di era milenia ini. Dengan emot yang melambangkan lelah teramat kamu memposting itu seakan gambaran yang sedang kau hadapi detik itu juga. Kau lucu, seperti baru sehari mengenal sistem di negara kita ini.

Dan lewat dunia kacamu, hari ini ku menyadari sesuatu. Kau banyak yang memperdulikan. Sedikit perasaan senang karena akhirnya kalimatmu yang mengatakan banyak yang care to you, it's really happen. Begitu banyak yang men'cintai' apapun postinganmu termasuk ketika kau memberitahukan pada dunia bahwa kamu telah beranjak dari alam mimpimu dan mereka semua rata-rata perempuan cantik. Sedang aku, hanya sepasang mata yang menyaksikanmu dari jarak sini, terkadang menyunggingkan senyum, terkadang membentuk masam. Lagi dan lagi jarak, menggelitik memang. Semakin ingin ku berlari semakin jarak mendekatkan. Hm sebenarnya ini bukan masalah karena setelah tindakanku bulan lalu, kau bersikap begitu berbeda, lebih dewasa dan memilih untuk tetap mengenalku.

Maaf, karena tanpa perizinanmu, ku ukir nama panggilan yang ku khusus kan untukmu. Mereka yang mengetahui hanya mentertawakanku, tergelitik melihat tingkahku. Kelewat bataskah? Entah. Aku hanya melakukan apa yang menyenangkan untukku. Tapi aku bukan psikopat seperti film drama korea yang baru ku tonton seminggu yang lalu. Yang menayangkan bahwa si murid perempuan tergila-gila dengan guru olahraganya hingga berbuat apapun agar dia bisa memiliki utuh pria idamannya. Seperti juga lagu pria bersuara syahdu Tulus-Mengagumimu Dari Jauh. Iya, cukup dari jarak dan cara yang aman serta tak menggagumu aku meluapkannya. Mengagumimu dari jauh. Menjagamu. Memelukmu tanpa memelukmu. Itu aku. Ini caraku yang tanpa kamu bahkan pernah tahu.

Maaf untuk segala kelancanganku mengikutsertakanmu dalam kebahagiaanku tanpa izinmu dulu. Semoga tidak berlanjut. Semangat dengan tugas yang mulai tak manusiawi.

Rabu, 23.53

Kamis, 18 September 2014

Maukah Kau Menunggu ?

Sekarang aku baru semester tiga. Hampir setengah jalan ku lalui di jenjang yang buru-buru ingin ku lewati. Sudah terlalu lama ku mengabaikanmu, mengabaikan kesempatan untuk mengenal lebih tentangmu. Pagi ini aku baru mengenal salah satu sahabatmu, salah satu pengagummu yang mengagumkan. Bung Fiersa, sapaannya. Jujur, aku kembali semakin jatuh cinta denganmu. Niatku semakin lebih naik ketika salah satu pengagummu menceritakkan sosokmu lebih lagi dari yang ku tahu.

Satu setengah tahun lagi kurang lebih. Ku ingin mengikuti langkahnya. Tapi, anganku sempat dibuat bingung, apakah kamu bisa menunggu? Sehari pun bisa menjadi sangat lambat untuk menunggu apalagi ini tiga ratus enam puluh lima hari ditambah enam bulan dikali tiga puluh hari. Aku takut, takut kamu tak bisa menunggu terlebih waktu tidak berpihak pada kita, padaku yang semakin jatuh cinta dan penasaran akan pesonamu.

Entah, akan terwujud atau tidak. Semoga iya. Aamiin. Akhir tahun ini aku ingin menemuimu. Aku sudah mendapatkan ijin dari mereka walau belum sepenuhnya. Tapi bisa ku pastikan aku akan mendapatkannya. Tunggu aku. Semoga semesta milikku. Aamiin. Akan ku abadikan sesuatu bersejarah itu, dalam bentuk apapun

Dari pengagummu yang lebih dari kagum yang kini berada diantara gedung-gedung pencakarmu.

Senin, 25 Agustus 2014

Tak Perlu Ada Yang Berubah

Tak Perlu Ada Yang Berubah

Setiap hal selalu mempunyai dua sisi seperti uang logam. Dan setiap tindakan selalu ada feedbacknya. Hukum alam.

Dua puluh satu, delapan, bulan tanpa matahari. Terima kasih.

Aku pernah membaca suatu kalimat dalam novel "seberat apapun itu, sepahit apapun, ungkapkan saja" dan "yang orang dewasa butuhkan adalah keberanian". Mungkin aku belum sepenuhnya dikatakan sebagai manusia dewasa, tapi setidaknya aku sudah membuktikan kalau aku mempunyai keberanian. Termasuk dua malaikat yang selalu menyentil aku dengan kalimatnya "kalau sayang sama orang itu bilang, jangan dipendam sendiri". Dan ternyata memang nyatanya ini tentang sebuah keberanian. Keberanian memendam atau mengungkapkan. Menjadi pecundang yang hanya diam memandang atau bukan.

Menurut salah satu buku lainnya yang pernah ku baca, menulis adalah self therapy tersendiri bagi yang menulisnya. Dan menurutku itu benar. Aku menulis maka aku merasa. Aku menulis maka aku ada. Entah.

Terima kasih selama ini telah menjadi alasan ku untuk tetap menulis. Membekukan momen dalam setiap rangkaian abjad. Aku menyadari selalu ada puan-puan baru yang akan menggantikan puan yang lama dalam setiap kisah. Termasuk kisahmu.

Tak perlu ada yang berubah. Semoga kenyataan seperti itu.

Sebuah kalimat yang menyadarkan bahwa aku bukan anak perempuan pada tujuh tahun yang lalu.

Minggu, 17 Agustus 2014

(Bukan) Takut Kehilangan

Lagi-lagi dan lagi dan mungkin akan lagi tentangmu yang akan terus menjadi tokoh utama dalam setiap keberanianku menggenggam dalam tulisan.

Entah, sudah berapa banyak air mata yang tumpah disertai rasa sesak didada untuk minggu ini yang akan kamu gak pernah tau. Sebenarnya aku juga lelah mengumpat pada rasa yang berujung cuma pada air mata.

Ini tentang berani menyampaikan atau berselimut pada takut "kehilangan". Haha kehilangan? Padahal dulu hal itu pernah terjadi meski penyebabnya bukan. Jadi jelas disini bukan aku takut kehilangan tapi apa? Aku juga tidak tau. Tidak tau apa yang sebenarnya aku pertahankan untukmu? Rela menangis atau menahan sesak.

Tak berani mengungkapkan? Karena takut kehilangan?
Bukan, bukan itu juga menurutku. Lantaa PPa? Aku juga selalu berpikir tentang mengungkapkan atau memendam. Terkadang tidak ingin menjadi pengecut yang ada dibalik keinginan untuk mengungkapkan. Tetapi dilain hal, aku ingin menjadi Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib yang keduanya tak pernah mengungkapkan tapi berujung penyatuan. Dan aku juga sadar, aku dan kamu bukan mereka. Ya aku tau itu.


Aku takut menyesal. Iya itu yang aku takuti sebenarnya. Aku takut ketika keberanian mendorongku mengungkapkan taunya rasaku adalah semu. Sebuah obsesi anak berseragam putih abu-abu pada teman sekelasnya. 

Kamis, 14 Agustus 2014

Kau Datang Lagi

Terlalu banyak asa yang tersimpan dalam dada yang bahkan tak bisa ku jelaskan secara inci perinci. Terlalu menancap dan terpatri telah begitu lama. Ketika ku mulai lelah menunjukkan kau datang kembali melambaikan. Ketika ku ingin berhenti menetap padamu, kau bilang ingin bertemu.

Aku tidak tahu benar-benar tidak tahu macam rasa apa yang ku rasa malam ini, semenjak deretan kalimat-kalimatmu yang entah apa tujuan utamanya. Ada sedikit sesak disini. Lalu tiba-tiba turun hujan begitu saja. Aku lelah. Aku ingin berhenti darimu; semua tentangmu. Tapi tiba-tiba kamu datang dengan percaya dirinya takkan ku tolak permintaanmu.

Malam ini, aku ingin berteriak sekencang-kencangnya (meski lewat tulisan) agar apapun yang menyumbat dan menghambat dapat keluar bebas bersama suaraku.

Untuk kamu, pria yang mengirimiku pesan 35 menit yang lalu. Maaf pesanmu belum ku balas. Aku terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan bila memang itu terjadi beberapa detik kemudian, aku terlalu egois untuk mengiyakan.

Sekarang aku baru paham, seberapa keras tekad ku bila denganmu itu menjadi goyah. Seberapa emosinya aku ketika mengetahui ini itu yang pahit, bila menatap mata itu seketika semua luntur.

Untuk kamu, pria yang berawalan huruf keempat. Tolong tegaskan rasa ini apa dan bawa pergi bersamamu tanpa kembali padaku.

Dari perempuan yang hingga detik ini belum mampu meyakinkan hati bahwa bukan kamu. Meski telah bermacam-macam alasan.

Minggu, 10 Agustus 2014

Untuk Pria Yang Namanya Masih Tertanam

Entah yang aku rasakan ini apa, sudah pasti kecemburuankah? Atau hanya rasa yang aku lebih-lebihkan yang padahal bisa menghilang begitu saja. Aku pun sendiri masih bingung untuk menetapkan hati untuk siapa dan pada siapa. Kamu? Kadang aku masih merasa terikat olehmu yang bahkan tak pernah memintaku untuk tinggal. Tapi dilain hal kadang aku harus melepaskan apa yang sebenarnya tak pernah tergenggam.

Kamu, pria pemilik magis paling kuat yang tak pernah berani ku tatap. Maaf, kalau caraku ini adalah egois. Aku hanya tengah berusaha untuk hati tak lagi menangis. Maaf, kalau sikapku menghalangi kebahagiaan yang sedang susah payah kau ciptakan. Aku hanya sedang berusaha agar hatiku setidaknya bisa dibilang baik dan tidak lebih remuk atau bahkan menjadi patahan-patahan. Maaf, kalau aku terlalu sensitif menanggapi niatmu yang tadi kau bilang berbeda. Aku hanya tak ingin menjadi bodoh dua kali karena memberikan hati yang ku sayang pada tangan yang menggenggam yang lain. Aku tak ingin merasakan sakit yang berlarut, berfase-fase dan tak ada ujungnya. Aku ingin sedikit saja walaupun sedikit, menjauh dari tentangmu. Kamu tahu? Sakit memberikan pada rasa yang terpendam. Aku tak ingin mengungkapkan.

Untuk pria, yang pada senyumnya dapat menghentikan dunia[ku]. Boleh aku meminta? Ya anggap saja jawabanmu boleh. Begini, aku ingin apapun yang terjadi jangan pernah menjauh. Sederhana? Hm tapi kalau jawabanmu tidak boleh anggap saja itu kado ulang tahunku darimu. Aku takut tak bisa lagi menikmati senyum yang diam-diam ku gilai itu. Mata yang ingin sekali ku masuki. Kedua lengan yang ku ingini merengkuh dan mendengarkan bunyi detak jantung bersama . Dan semua tentangmu dan apapun yang melekat padamu, aku ingin menikmatinya meski hanya dalam diam.

Satu lagi, boleh aku jujur? Ada salah satu hal yang ku takuti dan tak pernah ku harapkan. Sikapmu yang seperti apa yang akan ku terima entah dengan rasa apa ketika semua tak lagi menjadi rahasia.

Maaf, aku terlalu pengecut untuk memiliki rasa dalam diam.

Dari perempuan yang entah masih padamu atau ?

Kamis, 07 Agustus 2014

Kamu Yang Menghilang

Hai, kamu.. Iya kamu makhluk ciptaan-Nya yang jauh dari sempurna tapi hampir menyempurnakan kelemahan-kelemahan dan menjawab setiap pertanyaan dari pemikiran seorang gadis yang selalu memimpikan tentang imam masa depannya.

Hm.. mungkin sudah tiga tahun lebih sejak aku mengenalmu dan aku terus bertanya apapun yang aku ingin ketahui jawabannya. Tentang dunia dan isinya. Juga tentang kamu yang hampir tidak pernah melewatkan satu titik pun untuk membuatku kesal tapi yang juga candu dan..rindu.. Hahaha mungkin kamu akan tertawa lebar jika membaca kalimatku tadi seperti yang sering kamu lakukan bila ada satu hal yang merangsang otakmu untuk tertawa dengan memperlihatkan gigi-gigi yang berderet rapi dalam rahangmu.

Kamu pernah berada dalam fase "kehilangan" ? Iya kehilangan yang seringkali tak luput dari sesak dan air mata.

Entah ini hanya aku yang merasa atau kamu yang sedang menjaga jarak denganku. Atau kamu disana sebenarnya sudah muak dengan cerita-cerita yang keluar dari mulutku dan.. lagi-lagi dia, sipemilik tubuh tegap yang senyumnya selalu berhasil membuatku kaku sejenak. Hm tapi kali ini aku tidak ingin membahas dia, yang sekarang entah sedang apa dengan siapa, menangis atau tertawa.

Boleh aku jujur ? Meski hanya dalam tulisan tak tentu arah ini yang sampai kapanpun tak pernah kamu baca. Aku merasa kehilangan. Darimu. Tentangmu. Awalnya aku mengacuhkan semua balasanmu yang mulai dingin, tak sehangat dulu. Aku berpura-pura kau baik-baik saja dan sama seperti pertama kali kita ditakdirkan untuk saling mengenal. Tapi, lama kelamaan, perasaanku jengah dengan sikapmu yang berbeda. Yang aku sendiri tak tahu apa penyebabnya tapi juga percuma jika aku protes dan mengatakan panjang lebar tentangmu yang kuanggap berubah. Aku yang belum mengenalmu sepenuhnya atau kamu yang menutup pintumu rapat-rapat, membuat pagar jarak dariku ? Apa lagi sih ? Kenapa lagi ? Jangan diam dan tiba-tiba menjauh. Itu menyulitkanku, kamu tahu ?

Setiap mataku menulusuri lini waktu dan ada sosokmu disana bersama mereka yang sikapmu tak kau ubah sedikitpun, aku iri, aku kesal, aku marah tapi apa ? Percuma juga kan.. a.. jangan seperti ini ataupun itu. Aku merasa tersudut. Apapun masalahmu, yang menjadi bebanmu, cerita-ceritamu akan selalu ku dengar. believe me.

Karena dia ? Salah ? Apa ? Aku tak bicara padamu karena menurutku berpikirlah dewasa, tapi akhirnya, aku yang lelah sendiri menunggumu pulang dan mengatakan "hai" dengan senyum itu lagi.

Selasa, 20 Mei 2014

Ketika Hati Memilih


Cinta itu harus memiliki. Cinta itu dipilih bukan memilih. Cinta itu abstrak. Cinta itu buta. Cinta itu masa kini dan masa depan. Cinta itu apa adanya. Cinta itu butuh pengorbanan. Cinta itu tidak perlu meminta. Cinta itu memberi. Cinta itu tulus. Cinta itu rela menunggu. Cinta itu air mata. Cinta itu tawa bahagia. Cinta itu gugup. Cinta itu berdebar. Cinta itu salah tingkah. Cinta itu berbinar. Cinta itu ingin tetap tinggal. Cinta itu tidak akan meninggalkan. Cinta itu menggenggam. Cinta itu membebaskan. Cinta itu tenang. Cinta itu berusaha. Cinta itu lembut. Cinta itu degupan jantung. Cinta itu hati. Cinta itu KAMU.

Seberapa banyak pendeskripsian makna cinta dari batang-batang rasa manusia, akan tetap terealisasi ketika seorang manusia dan [atau] lebih membahagiakannya lagi sepasang hati manusia telah memilih. Tapi sayangnya terbalaskan itu (mungkin) memang takdir yang membonuskan karena pada nyatanya banyak hati-hati yang akhirnya tidak dipilih kembali oleh hati yang terpilih. Telak! Karena kisahnya saya, kamu, sebagian dari mereka termasuk dalam hati-hati yang menyedihkan itu. Entah alur pembicaraan ini berakhir dimana. Apakah akan berakhir pada hati yang lain yang akhirnya memilih dan saling memilih. Entah. Bicara tentang "cinta" yang katanya untuk sepasang kekasih baru itu membuat candu atau untuk sepasang kekasih lain yang baru saja memutuskan itu membuat pilu ternyata begitu absurd, tidak seperti cerita dalam dongeng yang tanpa perlu mereka-reka bagian akhirnya bagaimana.

Untuk kamu, lelaki berjas putih dengan atau tanpa kacamata.
Saya pernah maka saya tau rasanya menjadi seseorang yang akhirnya tidak jadi dipilih [haha seperti lelucon] oleh seseorang yang sudah titik untuk dipilih. Maaf, bukan maksud saya melebihi "kesenioranmu" dalam hal ini. Saya hanya mencoba membagi. Ah, entahlah tepatnya apa ini untuk disebut. Sakit hati itu sakit ya? Dijadikan shelter untuk menunggu jemputan yang langsung membawa pergi tanpa basa-basi terima kasih. Saya pernah bahkan saya sempat tidak menyangka bahwa cerita lalu itu telah usai [karena..masih melekat bahkan mengerak dalam ubun-ubun]. Ada yang bilang kalau memberi rasa itu cukup tanpa meminta kembali untuk diberi. Dan buat saya itu relatif, bisa benar, bisa tidak, tergantung cara masing-masing sipemilik memandangnya. Saya pernah memilih dan berpikiran tak perlu dipilih kembali tapi pada waktunya hati bukanlah wajah manusia pada masa kini yang memiliki sisi lain, ia ingin juga dipilih oleh yang terpilih dan akhirnya sakit yang saya rasa ketika itu. Kemudian diwaktu lain, melihat hati yang saya pilih memilih hati yang lain dan ia mendapat bahagia, maka tanpa sadar sebuah garis lengkungan senyum telah terbentuk disudut-sudut bibir saya. Saya juga pernah berpikir ketika saya menegak pil kemudian saya akan meresap dalam pil itu tapi nyatanya pil itu yang meresap dalam tubuh saya, membuat tameng dengan tergopoh-gopoh yang akhirnya membuat saya [sedikit] terlindungi dari pecahan-pecahan asa yang penyebabnya dia. [Yang saya pelajari ketika itu adalah menghadapi bukan menghindari].

Nyesek. Satu kata yang masih terngiang dalam benak saya dari beberapa kata dan kalimat yang sudah bersaut-sautan antara kamu dan saya. Karena untuk kesekiannya saya juga pernah merasakan makna kata itu. Tercekat. Bahkan lebih. Menjadi patung yang hanya diam memandang sepasang tangan yang tengah bergenggam. Tapi bukan itu maksud pembicaraan saya. Kamu [mungkin] merasa sesak karena dia yang awal dan [yang akan] akhirnya terpilih menjadi yang terakhir untukmu justru mengecewakanmu. Menjadikanmu [sepertinya] pilihan terakhir tapi bermain-main dulu sebelum berakhir; tanpa kamu, tanpa bahagiamu. Seperti harus memakai topeng dulu untuk menjadi diri sendiri yang akan diakui.

Terkadang ada bagian-bagian yang tidak boleh diceritakan.

Dia pergi bukan karena kamu terlalu baik. Dia pergi bukan karena kamu terlalu jahat. Dia pergi bukan karena rasanya telah hilang. Dia pergi bukan karena tak pernah merasa. Dia pergi bukan karena membencimu. Dia pergi karena masanya denganmu sudah berakhir [paling tidak untuk saat ini]. Dia ingin kembali pada taman tempatmu dulu menjemputnya yang tak sengaja dan meninggalkan permainan-permainan yang (katanya) membahagiakannya tepat disaat permainan itu membuatnya jatuh dan terluka.

Saya pernah mendengar ucapan, ketika kamu jatuh cinta pada hal yang pada harinya selalu melukis pelangi dimatamu, membawa riuh tawa membahagiakan meskipun disuatu hari yang lain pernah mengecewakan karena meninggalkan, tapi rasa itu akan tetap tinggal untuk beberapa waktu dan tak cepat pudar begitu saja menjadi debu yang tertiup angin, berpendar ke segala sudut dan akhirnya menghilang. Karena benih itu terlanjur tertanam dan sudah mulai bertumbuh dan tak mudah begitu saja dihapuskan. Dan yang pada akhirnya membuat kamu kembali pada dia yang memberikan kenyamanan meski pernah tergores luka.

Untuk kamu yang entah sekarang sedang apa
Memilih tapi tidak terpilih itu menyesakkan
Menunggu tapi tak ingin ditunggu itu menyedihkan
Menatap tapi tak pernah ditatap itu memilukan
Seperti pergi tapi tak ada yang menanti pulang..

Jujur, ketika menuliskan rangkaian ini, kenangan-kenangan menyeruak, bersilang-silangan melintasi sudut-sudut pikiran saya. Tentang dia yang pernah memberikan kenyamanan namun akhirnya meninggalkan. Tentang dia yang seenaknya menggores mimpi-mimpi[mu]. Tentang dia yang pernah mengabulkan setiap permintaan namun akhirnya menghilang. Tentang dia yang pernah memberikan senyum mematikan namun akhirnya lupa dengan takaran dosisnya. Tentang dia yang pernah menyelami mata yang membuat gugup. Tentang dia yang pernah ingin menjaga namun akhirnya membuat pagar baru untuk "dia". Tentang dia yang pernah menggenggam, menularkan rasa hangat dan nyaman yang membius. Tentang dia yang pernah mendengarkan hingga dentuman dua kepala beradu. Tentang dia yang pernah memeluk meski dalam kabut. Tentang dia yang tak pernah berjanji karena pada akhirnya ia tau akan pergi. Tentang dia yang pernah membangun harap namun akhirnya kembali melahap. Tentang dia yang pernah berada disisi kanan ketika berjalan [harus
, katanya]. Tentang dia yang pernah memberikan kehangatan. Tentang dia yang pernah menjadi manja. Tentang dia yang pernah berada tepat didepan mata. Tentang dia yang pernah membuat lelucon dengan rasa yang tergugah. Tentang dia yang pernah mengucap kata sakral seakan janji namun mengingkari. Tentang dia yang pernah gemetar ketika bersalaman dengan malaikat cantik di rumah. Tentang dia yang membanggakan diri menjadi hasil malaikat lain yang dirumah. Tentang dia yang sampai sekarang melekat dalam benak tak ingin pergi atau saya yang tak ingin melepaskan. Tentang dia yang saya harap untuk pulang. Tentang dia yang saya harap pergi membawa rasa dan membunuhnya. Tentang dia yang saya harap kembali, menemani hari. Tentang dia yang masih tersimpan rapi dalam sudut ruang istimewa didalam sini. Serta tentang dia yang selalu berhasil membuat gemuruh dalam perut dan turun hujan dipelupuk.

Dan sekali lagi, untuk kamu lelaki yang sudah pernah mengelilingi bau tempat yang saya tak suka. [Maaf]. Mungkin bukan dia atau memang dia tapi bukan saat ini. Mungkin dia yang lain yang masih tertutupi pesona dia yang utama untukmu. Mungkin dia yang tengah mengangkat tangan setelah bersujud dan merapal namamu dalam setiap percakapan panjangnya dengan Tuhannya. Mungkin juga dia yang diam-diam menanam benih sendiri dan berharap suatu waktu kamu datang menyirami kemudian merawat bersama-sama. Mungkin juga dia, yang selama ini kamu abaikan. Atau dia yang tetap memilihmu meski kamu memilih yang lain.

Kita tak pernah tau kan? :')

20 Mei 2014-RS

syifamaudiyah:)

Kamis, 15 Mei 2014

Silence.



Hai Tegap apa kabar? Kapan kau menyapa kembali dengan dentingan huruf yang begitu saja mengerak dalam ingatanku. Sejak ratusan detik bahkan jutaan detik yang tak akan ada lelahnya mengganti-ganti dirinya demi hari kan terus berjalan, demi matahari kan hangatkan sidingin, termasuk demi bintang-bintang yang ingin terlihat oleh dia yang kesepian.

Aku tidak pernah menyangka sampai dititik ini. Titik yang membuatku nyaman namun kau meninggalkan. Lagi..dan lagi..

Hanya aku yang berjuang sendiri. Menegakkan pagar besi penghalang agar kau tidak pergi..apalagi selamanya. Rasanya..mungkin tidak lagi aneh layaknya de javu tapi berbeda pemeran.

Entah aku yang terlalu pemikir dan perasa atau kamu memang menginginkan.

Kamu tahu gengsi? Tahu seberapa sulitnya berhadapan dengan sifat ego satu itu kan? Hm aku sudah meluruhkan kata itu dalam kamusku. Sejak bunyi kedua telapak saling beradu dengan bibir dan mata yang saling menatap dan tersenyum. Tapi sepertinya itu tak penting untuk dirimu. Atau mungkin kini kamu tengah belajar sikap tak acuh?..

Perubahan. Berubah. Menjauh. Menghindar. Jenuh. Membenci.

Kata-kata itu yang terus menyulut api dalam otak yang bersinergis dengan kalbu. Tanpa perintah, tanpa babibu.

Aku tahu, aku lancang, aku konyol, aku..hm perempuan pengharap? Seperti yang sering kamu lontarkan dengan suara tertawa berat yang membuat candu. Tapi ini aku, perempuan yang diam-diam pada akhir-akhir ini sering merindumu.

Nanti, Ketika Indahnya Tiba



Hai, apa kabar? Baik ya, kuharap seperti itu. Kamu, terima kasih ya sudah menebarkan pesona yang hampir dititik terakhir benar-benar membuatku gila.

Untuk kamu silandak yang katanya pemain basket nomor 7 tapi tidak digandrungi.
Terima kasih atas tulisan-tulisan yang kamu ukir dalam semesta beserta konspirasimu. Terima kasih telah mengijinkan aku dengan bebas membacanya bahkan mengulang atau menyimpannya untuk diam-diam kunikmati dalam semesta yang kupunya juga.

Untuk kamu sipemilik rambut tajam yang ternyata banyak digilai oleh makhluk-makhluk yang bukan hanya disemestamu. Terima kasih telah berbicara, merasa, mengerti asa. Terima kasih telah membebaskanku untuk lagi-lagi menikmati berat suaramu, helaan nafasmu, bahkan tingkah konyol yang selalu menang untuk memanjakkan rindu kepada satu yang bahkan belum pernah tersentuh.

Untuk kamu yang tegas garis wajahnya kukagumi. Terima kasih telah memberiku ruang dan waktu untuk bisa menyusuri dalamnya sosokmu. Terima kasih telah membukakan pintu, untukku yang bahkan tak pernah kau tahu wujudnya.

Untuk kamu yang pernah memakai kemeja biru, dasi dan celana berwarna hitam. Yang pertama kali ku menyapa meski hanya dalam lini waktu. Kau suguhkan rasa terbuka dan ramah. Terima kasih :)

Terima kasih untuk kata-kataku yang pernah kaubalas. Terima kasih untuk pesan yang kau balas kembali. Bahkan ucapan bertemu yang kau selipi. Terima kasih untuk keleluasaanmu memberitahuku kemana aku harus membagi. Terima kasih untuk waktumu yang pernah kau ambil untuk mengucapkan "selamat ulang tahun ya, Syifa :)". Terima kasih untuk kamu yang mungkin sudah pasti bosan atas aku, sipengagummu yang bukan rahasia lagi. Terima kasih atas rasa bahagiamu ketika satu kutujukan padamu. Terima kasih untuk segala yang bersumber darimu.

Maaf, bukan maksud hanya bisa menjadi pengecut yang berani menghujamimu dengan kata-kata manis berasa garam atau apapun. Seperti yang pernah kubilang, waktu kadang membuat keadaan menjadi jahat.
Haha aku sudah lama bahkan sering memimpikan aku bertemu denganmu, langsung, tanpa ada pembatas kaca yang menyudutkan. Tapi bukan saat ini. Nanti pada saatnya nanti, aku sebagai aku, kamu tetap sebagai kamu. Dan kita sebagai kita ketika indah waktu tiba.

Dari : pengagummu yang selalu membuat sesak garis waktumu.

12 Mei 2014

Akhirnya...







Kurang lebih tiga tahun, saya mengenal kamu, kamu mengenal saya. Terlalu singkat untuk tahu kamu itu seperti apa dan bagaimana. Tapi, mungkin itu adalah detik yang cukup banyak untuk menyiptakan kenangan yang sampai detik ini masih melekat dalam memori otak saya.

Kenangan yang membuat foto itu menjadi latar belakang layar ponsel yang diselimuti lambang kekuatan superman. Kenangan yang akhirnya membuat saya menyimpan fotomu, hanya kamu, sendiri, tanpa saya atau dia. Padahal kamu tahu? Dua kali dua puluh empat jam lagi saya mesti dinas tapi otak saya masih terbagi akan sosokmu, kabarmu. Kamu yang entah mengapa akhir-akhir ini mampir kedalam cerita malam saya.

Sebenarnya saya ingin menanyakan sesuatu kepadamu, seorang anak yang terlahir dari rahim wanita cantik yang kamu panggil "Ibu". Tapi, sepertinya saya sudah tahu respon dan ekspresimu ketika nanti pertanyaan ini atau lebih tepatnya pernyataan ini menguap.
"Bagaimana kalau malam ini kamu tahu bahwa tiba-tiba perasaan rindu menyesakkan saya?"

Saya sudah bisa membayangkan bagaimana air wajahmu ketika kalimat itu terterjemahkan dalam otakmu.