Malam semakin larut, semakin membawa pikirannya
melayang-layang entah kemana, tak tahu arah. Sekejap ia membolak-balikan
tubuhnya ke kanan kemudian ke kiri, entah kenapa ia terlihat resah kala
rembulan lebih menampakkan sinarnya.
Bulatan mata cokelatnya dengan
hiasan bulu mata yang lentik itu belum juga memberi tanda-tanda akan terpejam,
entah mencari-cari apa di atas langit-langit kamar. Kebingungan sendiri, mau
bercerita pun sama siapa ? Ia hanya sendiri di kota ini. Sebenarnya ia tak
sendiri, di rumahnya masih ada papa dan mamanya, lengkap meski tanpa seorang
kakak atau adik sekalipun.
Tapi, kesepian-kesepian itu datang
bergabung menyudutkannya malam ini, menyadarkannya bahwa ia kini merasa
sendiri. Tak ada bahu tuk menopang kepalanya yang terasa berat karena berbagai
macam pikiran yang memenuhi ruang di sudut otaknya. Semakin bertambah sekaligus
berkurang jumlah usia yang disandangnya, semakin sulit ia menemukan kebahagiaan
yang dulu pernah ia rasakan ketika masa kecil. Meski hanya ada tiga penghuni
dirumah sederhana yang telah ia huni selama belasan tahun dengan papa dan
mamanya, dulu ia merasa bahagia. Iya tapi itu dulu. Segala sesuatu yang terjadi
di masa lalu tak akan pernah terukir lagi di masa kini, hanya bisa
berulang-ulang terputar kembali dalam ruang ingatan tanpa bisa mewujudkannya
dalam sebuah kenyataan. "Kenyataan itu terkadang pahit" hatinya
bersuara lirih, matanya masih menampakkan kebingungan dan kekosongan. Tapi,
wanita ini memiliki daya imajinasi yang tinggi, itulah pelariannya.
Ia menarik selimut tebalnya, hampir
menutupi wajah ovalnya itu. Memaksakan matanya untuk segera terpejam.
***
Matanya jeli menatap layar
laptopnya dari beberapa menit yang lalu, dengan hati-hati ia membaca dan
memaknai setiap kata-kata yang tertulis disana, beberapa detik kemudian Dira
melompat kegirangan, suara teriakannya memenuhi sudut-sudut ruang kamarnya yang
tertata tidak seperti kamar seorang perempuan, buku-bukunya berserakan dilantai
dan diatas meja belajarnya, belum lagi baju-baju kotor yang terhampar bebas
disudut pintu kamarnya. Ruang tidurya ini lebih mendekati ruang tidur seorang
laki-laki.
"Yes, naskah gue lolos
!!!" Maudira mengepalkan kedua tangannya tanda ia sangat bahagia dan
berhasil mendapatkan sesuatu. Sejak empat bulan yang lalu ia memang mengirimkan
naskah berisi cerpen-cerpen hasil daya imajinasinya yang menjulang hampir
menyentuh langit.
***
Setelah dua minggu sejak kumpulan
cerpennya akan diterbitkan dalam suatu majalah yang cukup terkenal, ia tak
henti-hentinya melengkungkan bibir tipisnya yang diturunkan oleh mamanya itu
dengan sumringah. Sejak kecil ia memang suka menulis entah puisi atau sekedar
bercerita sesuai alur pikirannya. Tapi, ia belum berani membentuknya menjadi
sebuah novel, masih terlalu dini, katanya, dan masih ada hal yang banyak lagi
yang harus ia pelajari. Emosi. Emosinya masih sangat labil sesuai umurnya, 19
tahun. Terkadang, imajinasinya telah memuncak namun kemudian ditengah jalan
terhenti. Karena salah satu yang terpenting dari menulis itu adalah
menyelesaikannya. Menulis itu
baik. Tapi menyelesaikannya itu lebih baik. Itulah kalimat yang ia
baca dan tertanam dalam otaknya hingga kini.
***
"Kamu, sabtu ini sayang ke
Batamnya ?" suara lembut dari wanita yang telah memperjuangkannya 19 tahun
yang lalu.
"Iya mah" Dira membalas pertanyaannya.
"Kamu beneran gak mau mama
temenin ? Kamu yakin sayang bisa sendiri ? Batam itu jauh!" sambil menatap
lekat-lekat mata putri semata wayangnya, tersirat sedikit ketakutan dari mata
hitamnya itu.
"Iya mah, aku yakin. Mama gak
usah takut. Nanti kan dibandara aku dijemput juga sama Dafa."
"Iya mama tau sayang, tapi kan
..." ucapan wanita yang masih terlihat modis itu terpotong saat telepon
rumahnya berdering hampir mengagetkan sepasang anak dan ibu yang saling
mencintai itu.
***
Pohon-pohon rindang yang meneduhkan
jalanan kala itu, membawa kenyamanan sendiri untuk jiwanya. Dafa melajukan
mobilnya dengan santai karena saat itu suasana tengah lenggang dari aktivitas
manusia yang memuakkan.
"Dir, aku gak nyangka loh kamu
mau kesini lagi, setelah tiga tahun yang lalu, aku pikir kamu gak akan balik
kesini lagi" Dafa mencoba membuka percakapan diantara mereka yang dari
tadi hanya sibuk dengan alam pikirannya masing-masing.
"Hehehe enggalah Daf, aku
kangen suasana disini. Kangen kedamaiannya yang tercipta begitu saja tanpa
rekayasa orang-orang munafik yang hanya mementingkan keuntungannya saja seperti
di kotaku."
"Oh gitu ... Kamu gak kangen
aku jadinya nih Dir ? Cuma kangen sama rumah aku doang" lirikan matanya
lelaki itu menggoda perempuan disebelahnya, mencoba mencairkan suasana.
"Ih bukan gitu Daf, ya aku
juga kangenlah sama kamu." akhirnya tawa mereka memecah keheningan yang
dari awal menyelimuti pertemuan mereka ini.
***
"Kamu kenapa mau ikut kesini
juga Dir ? Biasanya kan perempuan kayak kamu itu paling malas untuk diajak pergi
ke tempat seperti ini" pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dari
mulutnya Dafa, ia biarkan menggantung selama beberapa detik. Terpancar setitik
kebahagiaan dan kebebasan dari mata cokelatnya itu, sesaat ia menghela napas
panjang.
"Aku mau berimajinasi disini.
Aku mau mengintip masa depan" terasa keyakinan yang begitu kuat dari
jawabannya Maudira tapi itu malah membuat Dafa tak dapat menahan tawanya.
"Hff ... Kamu ... Aku tuh
serius tau!" balas Maudira cepat setelah melihat ekspresi sepupunya yang
menganggap jawabannya tadi hanya lelucon.
Lagi-lagi Maudira menghela napas
tapi kali ini lebih panjang. Ia tak mau mempedulikan anggapan sepupunya
itu yang hanya terpaut dua tahun diatasnya. Sedangkan Dafa lebih memilih
memotret pemandangan yang berada disekitar mereka dan sesekali mengarahkan
kamera kesayangannya itu ke tubuh sepupunya yang mungil itu. Sepupunya tampak
berbeda kini. Lebih feminim dan lebih sedikit memperhatikan penampilan.
Masih tak percaya nyatanya Dafa
akan ucapan sepupunya tadi. "Mengintip masa depan ?" diulang lagi
perkataan yang tadi diucapkan oleh sepupunya itu, kemudian tertawa kecil.
bersambung ke- Mengintip Masa Depan 2
syifamaudiyah:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar