Senin, 31 Agustus 2015

Who am I? (Sebuah Pengakuan)

Who am I?

(Sebuah Pengakuan)

Who am I? Lucu ya baru sekarang nanya selama 20th gue kenal sama banyak orang. Main kesana kesini. Kenal siapapun. Ngomong sama mereka yang nyambung ataupun gak nyambung. Seru-seruan bareng mereka yang katanya "sahabat". Nangis nangis bareng, cerita ini itu. Saling kasih saran, kasih semangat. Saling topang. Dari banyak novel yang gue baca, film yang gue tonton, kalimat-kalimat yang gue denger. Baru sekarang gue nanya ke diri gue sendiri. Gue itu siapa ?

Padahal pas SMP dipelajaran bimbingan konseling gue pernah nulisin banyak kalimat ketika guru nugasin tulisan dengan judul "who am I? Siapa aku?" Entah yang gue tulis mungkin karangan identitas aja.

Kemarin, iya semalem tepatnya. Salah satu orang yang gue kenal nyentil gue dengan kalimat "lu mah pikirannya dipengaruhi orang laen yah". Sedetik setelah itu gue bener bener serasa ditampar ditusuk pas sasaran banget bukan lagi disentil.

Kenapa akhirnya gue nulis ini dan bilang sebuah pengakuan. Supaya gue bisa inget kalo gue pernah kaya gini. Supaya gue bisa belajar. Lebihnya lagi supaya gue bisa sedikit bebas dari perasaan yang gak jelas gini. Melayang gak jelas arahnya. Gue udah baca novel pun yang biasanya jadi mood booster, ini sekarang hasilnya nihil. Akhirnya gue tutup lagi. Terserah yang baca ini nanti mau nganggep gue gimana. Toh sekarang gue lagi gak kenal diri gue.

Balik lagi sama kalimat temen gue. Setelah baca kalimat dia gue mungkin bisa nyembunyiin gak ada efek apa apanya ke gue tapi jauh bermeter meter dari tempat dia ngirim kalimat itu gue yang nerimanya mulai buat tameng, pertahanan diri dengan bilang "hahaha" entahlah gue lupa, itu tameng gue. Untuk apa? Yang jelas supaya gak sakit lagi. Setelah itu, gue coba bales lagi seakan biasa aja, gak kenapa-napa. Taunya dia ngeluarin kalimat lagi "lebihnya kelebihan lebay" dan lagi gue bersikap I'm fine, gue gak kenapa-napa dan langsung gue bales lagi dengan hahaha gue yang krik banget efeknya di gue.

Gue masih berusaha gue gak kenapa napa. Taunya tanpa bisa gue kendaliin. Di dalem diri gue, disemua sudut pikiran, diruang ruang ditubuh gue, mereka semua mengiyakan yang dibilang sama temen gue itu. Efeknya ternyata besar banget ke gue. Gue cuma bisa diem dan sambil "iya-iya" tentang diri gue sama diri gue sendiri. Entah tiba-tiba didorong dari mana air mata gue keluar gitu aja dan nyesek yang udah lama gak gue rasain malam itu gue rasain. Nyesek. Nyesek bener bener nyesek. Bukan lu ngerasa disakitin tapi lebih tepatnya lu ngerasa dibangunin dengan cara yang gak pernah lu sangka pas banget lu lagi mimpi indah-indahnya.

Setelah itu gue terus mikir, gue mengiyakan. Gue siapa? Gue selalu aja ngambil sifat dan sikap seseorang yang menurut gue seru, baik, nyenengin, buat nyaman, positif terus gue masukin di diri gue. Dan sampe pas malem itu gue bingung sendiri gue itu yang mana. Gue yang kaya gimana. Yang gue bisa inget atau pahamin. Gue gak suka ditinggal, gak suka dicuekin, dibentak, dikasih kata-kata kasar, sensitif banget ya? Iya! Tapi gue ngerasa disisi lain gue bisa meredam itu. Entaaaaah. Gue gak tau! Gue takut gak dianggep. Gue takut dianggep gak ada. Gue takut dinilai negatif sama orang. Gue takut dibilang terlalu serius. Gue takut dibilang kebanyakan bercanda, terlalu agresif atau hal lainnya yang pernah mereka bilang ke gue yang buat itu koreksian ke gue dan gue berusaha memperbaikinya tapi gue takut justru malah lebih buruk. Gue takut pendapat orang-orang tentang gue. Gue takut dinilai buruk. Gue takut. Gue selalu ngebandingin diri gue sama mereka yang punya pengaruh dan dianggep ada sama lingkungan sekitarnya, sama orang orang yang mereka sayang atau bahkan sayang balik ke mereka.

Dan hari ini, tadi pagi gue cerita sama temen gue dan akhirnya dia ngusulin buat cerita sama dosennya yang emang ngajar psikologi. Gilak! Gue ngerasa bener bener lagi bermasalah. Beliau bilang mau ketemu langsung supaya gak salah persepsi dan jawaban. Semoga yang terbaik. Semoga lebih baik. Semoga ada jawaban.

Maaf, bikin semuanya jadi gak enak. Bukan maksud menghindar supaya dikejar. Tapi gue sendiri pun bingung gue siapa. Gue takut salah ngomong atau tindakan. Makanya mungkin baiknya gue sama diri gue sendiri. Gue bakalan pulang ko. Kalian itu rumah...

Surat Kedua Untuk Kamu

Hai, kamu yang semalam nonton MU bersama. Aku dirumah dan kamu pun sama.

Kamu pasti bingung bisa tiba-tiba mendapatkan surat kedua padahal surat pertama belum pernah kamu baca bahkan terima sekalipun. Gak apa-apa. Aku hanya menulis tak berharap kau bisa membacanya. Karena ada yang bilang menulis adalah cara paling jujur dengan diri sendiri dan penghayatan terbaik.

Maaf kalau selama mengenalku, aku begitu menyebalkan, aneh. Itu yang kamu bilang kan? Aku boleh jujur? Ketika ku yang datang lebih dulu. Aku hanya ingin menyapa. Ingin melihat dan merasakan senyum itu lagi. Senyum yang beberapa bulan lalu yang bisa menyemangati tiap datang ke ruangan yang ada sosokmu. Padahal ruangan itu buatku mengerikan. Banyak anak bayi, iya benar-benar bayi mungil yang baru lahir. Ada beberapa yang lucu, tapi lebih dari itu ada mereka yang masih sangat kecil tapi terpasang jarum dan selang ditubuhnya yang belum tau tentang dunianya. Kamu tentu paham kan?

Tapi nyatanya, Tuhanku ingin mengajarkanku dunia yang lain. Duniamu. Yang sempat mengerikan awalnya tapi entah darimana aku memandang dan berpikir, aku ingin membantu. Serius. Bukan dengan cara yang kamu minta. Dengan caraku? Mungkin. Tapi aku berharap dengan cara yang logis dan sedikit lebih baik.

Lagi-lagi kamu merengek seperti anak kecil yang sedang meminta balon atau permen pada ibunya, padahal yang kau minta lebih dari itu, menjijikan iya. Maaf kalau aku harus keras seperti yang kamu bilang. Aku perempuan. Sebenarnya, aku bisa apa bila disandingkan dengan lelaki, apalagi sepertimu, selain melembutkannya? Aku perempuan yang terkenal dengan simbol makhluk lemah. Tapi kepada siapa lagi kami makhluk yang mereka bilang lemah mendatangkan kekuatan kalau bukan dari diri kami sendiri. Seniorku di SMA pun pernah bilang, perempuan itu mulia. Dan ada kalimat lain kalau perempuan kadang lupa betapa berharga dirinya. Kalau bukan mulai aku sendiri yang menghargai dan mengangkat diriku sendiri, lalu siapa? Kamu? Haha. Gak mungkin. Sikap kamu yang seperti itu saja menandakan kamu merendahkan.

Kalau saja kamu bilang rasa itu setelah terakhir kita bertemu beberapa bulan yang lalu dan kita terus bertukar pesan tentang kabar, kegiatan apapun selain kegilaan diotakmu itu. Mungkin aku bisa percaya. Haha. Aku sudah terlalu sering mendengarkan ucapan laki-laki yang bilang sayang, ingin menunggu, bahkan ingin serius padahal baru beberapa hari kenal. Kamu tau? Aku sudah terbiasa dengan kalimat yang itu-itu lagi. Untuk kalian para lelaki yang seperti itu, apakah hanya itu senjata kalian. Bilang sayang diawal lalu perempuan percaya dan kemudian kalian meninggalkan? Aku hanya percaya first sight yang mendatangkan getaran dan gemuruh diperutku, padaku. Tidak ditubuh yang lain.

Kamu bilang ingin mundur, silakan mundur sejauh-jauhnya. Aku bukan siapa-siapa dan tak pernah berarti apa-apa, kecuali untuk jadi penolongmu yang gagal kau mintai bantuan. Tunggu sebelum itu kamu bilang serius denganku, dan setelah itu kamu bilang aku cuma bahan keisenganmu dan sedetik kemudian kamu bilang lagi kamu serius. Haha. Kamu lucu.

Aku ingin bantu, tapi bukan dengan itu. Aku tidak peduli dengan keyakinan yang kamu pegang sejak lahir. Karena ada yang bilang letakkan agamamu sampai dapur, ketika berada diruang jamuan, berikanlah yang terbaik, tidak peduli apa yang ada dibalik dapur itu. Dan aku serius ingin bantu. Tapi kamu setannya banyak. Aku satu. Mereka? Sejujurnya aku memang benar-benar muak denganmu yang terus merengek seperti itu, tapi dilain hal aku tidak percaya itu kamu yang kutemui beberapa bulan lalu. Kamu terlalu indah untuk meminta seperti itu sebelum waktunya.

Aku minta maaf. Maaf. Maaf. Kalau aku begitu kasar dan egois. Aku cuma mau kamu berubah. Aku khawatir denganmu kalau terus seperti itu. Aku benar peduli. Aku selalu mendoakan semoga kamu lebih baik lagi dan bahagia. Terima kasih pernah menjadi bagian dari kenangan yang tadinya ingin ku hapus tapi akhirnya aku ingin mensejajarkan ini dengan kenangan lain yang juga mengajarkan tentang kehidupan. Aku tau, pagi ini kamu pergi. Benar-benar pergi dariku. Selamat. Aku harap kamu memegang profesi dengan baik dan oh ya semoga Jumat ini ujianmu lancar. Sungguh, aku ingin kamu terlepas dari itu.

Dariku yang sudah lebih tau kau menyukai MU sepertiku. Semoga kita bisa berkomunikasi atau bahkan bertemu dengan yang lebih baik. Selamat memulai harimu, semoga menyenangkan (tanpa itu tentunya).

Jumat, 28 Agustus 2015

Surat Pertama Untuk Kamu

Untuk kamu, yang mungkin sekarang sedang siap-siap atau sedang berpacu dengan waktu menuju tempatmu hari ini.

Terima kasih pernah datang lalu mengajarkan. Meyakinkanku lebih tepatnya menambahkan keyakinanku. Bahwa semesta begitu banyak konspirasinya. Bahwa semesta bukan hanya tentang aku, sahabat-sahabatku, keluargaku, bahkan dia. Dalam semesta ini, kamu ada. Ada kamu. Yang mengajarkan padaku bahwa manusia-manusia bukan hanya makhluk-makhluk yang ku kenal selama ini. Ada juga kamu yang seperti itu. Mengajarkan padaku untuk percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia tidak hanya satu. Ternyata ada manusia yang sepertimu, iya sepertimu. Tanpa ku jelaskan tentu kau tau maksudku. Terima kasih.

Dari dia yang kau bilang aneh.

Haha terima kasih. Sahabat-sahabatku pun lebih dulu mengiyakan. Itu aku.

Semoga kamu lebih baik dan bahagia:)

Mengenangmu

Beberapa bulan yang lalu..

Kau datang. Entah kau yang datang duluan atau aku. Intinya kita bertemu. Tak sengaja berbicara agar ada bukti bahwa kita memang mengenal. Tak lebih dalam. Kurang lebih selama sepekan kita bertukar sesuatu yang menurutku manis, indah. Kita terus seperti itu. Tak ada kata atau percakapan yang panjang. Hanya senyuman. Senyuman dan lagi. AH! Senyuman itu, lagi!

Sudah begitu saja berlalu..

Lalu ku pulang, pulang ke rumah karena jadwalku sudah habis. Melewati koridor gedung yang sama setiap harinya. Tapi kali itu beda, iya ada kamu. Sepertinya kamu belum sadar, kalau sedari tadi aku sedang menatapmu, dalam diam dan langkah yang tenang. Tapi, kamu terlihat buru-buru sampai kau sadar aku sedang berjalan hampir melewatimu, seketika tubuhmu yang begitu riuh kau hentikan dengan cepat, sedetik kemudian kau menoleh ke arahku, dan..menyapa. Aku tak bisa berkata apapun karena situasi kita bertemu tak nyaman, ada temanmu juga saat itu. Aku hanya senyum. Dan kamu juga. Senyum lagi, hai..

Aku tau, seseorang dibiarkan datang dan kita kenal atau mengenal kita untuk mengajarkan bahwa tidak ada pertemuan yang sia-sia atau sesuatu terjadi karena ada alasan. Begitu juga aku, kamu, bukan kita.

Aku ingin mengenangmu, sebagai seseorang yang ku kagumi karena senyummu.

Aku ingin mengenangmu, sebagai seseorang yang ku kagumi dan pernah ku kenal digedung itu.

Aku ingin mengenangmu dalam kenangan yang baik.

Tidak untuk hari kemarin dan hari ini. Aku menganggap itu  bukan hari aku dan kamu.

Cukup, cukup beberapa bulan yang lalu kenangan itu yang ku simpan dalam sudut-sudut diruang pikiranku. Aku ingin mengenangmu sebagai lelaki baik yang menghargai wanita, kau kenal ataupun tidak, dekat ataupun biasa. Aku ingin mengenangmu dalam sebaik-baik ingatan.

Kamis, 27 Agustus 2015

Dia di Bulan Agustus

Harusnya Ada Pesta

Lima tahun, Dir lima tahuuuun. Terus ketemu cuma bisa liatin dia doang sambil pelanin langkah kaki dengan mata yang gak berkedip bener-bener merhatiin dia.

Lima tahun, Dir lima tahun. Lima tahun yang lalu semua dikacauin yang penyebabnya, dia.

Lima tahun, Dir, lima tahun. Lima tahun yang lalu sampe lo mikir diri lo butuh berbagi dan cerita dengan psikiater. Karena dia.

Lima tahun, Dir, lima tahun. Lo nemuin orang yang buat lo gak butuh orang lain lagi (gak masuk itungan keluarga lo). Satu-satunya orang yang bener-bener bikin lo nyaman karena itu dia. Bukan siapapun sampe hari itu dateng.

Lima tahun, Dir, lima tahun. Lima tahun yang lalu dia yang akhirnya bisa ngisi kosongnya itu. Anak perempuan yang baru ditinggal kakanya. Tempatnya. Segala-galanya. Terus tiba-tiba dia dateng, Dir. Ngisi bangku kosong itu dan ngebersihinnya lagi (sebelum dia tinggalin dan bangkunya hampir dibuat patah).

Lima tahun, Dir lima tahun. Berdoa berharap ketemu di tempat yang sudah pasti ada dia.

Tapi hari ini, Dir. Setelah lima tahun, Dir setelah lima tahun. Dia dateng lagi, Dir. Kali ini bukan lagi caranya dia nulis pesan, bukan lagi dalam terjemahan ketika rapi rangkaian huruf masuk ke ponselmu.

Setelah lima tahun, Dir setelah lima tahun. Dia dateng. Tepat didepan matamu, Dir. Bisa kamu lihat tanpa harus membayangkan bersama balasan pesannya. Dia depanmu. Sedang berjalan. Lalu perlahan, langkahmu melambat. Matamu benar-benar terkunci akan sosoknya. Yang detik kemudian dia lewat begitu saja..

Dir! Kenapa kamu cuma liatin aja? Kenapa kamu gak tegor dia? Sapa, Dir sapa! Kamu gak lupa kan caranya menggerakkan pita suaramu? Dir, dia sudah lewat. Lewat begitu aja, Dir. 

Lima tahun!

Harusnya ada pesta, Dir. Harusnya banyak balon-balon dan tepuk tangan yang banyak ketika dia lewat dihadapanmu, Dir. Harusnya! Tapi itu bukan harus-Nya.

Lima tahun yang lalu bukan waktu untuk harapanmu, Dir. Setelah lima tahun ini. Hari ini, Dir jawabannya.  Dia datang. Dia yang pernah kau buat jengkel. Dia yang pernah menyarankanmu untuk memilih jurusan. Dia juga yang pernah bilang ke kamu, Dir sebuah kalimat yang selalu ada dikamarmu, Dir. Dia juga yang pernah menjadi medan magnetmu, Dir.

Dia yang lima tahun lalu dan setelah lima tahun. Dia yang hari ini.

Senin, 24 Agustus 2015

Saya Bisa Apa?

Kalau bahagiamu nyatanya saat bersamanya
Saya bisa apa?

Kalau nyamanmu ketika berbicaa dengannya
Saya bisa apa?

Kalau saya tidak bermakna untukmu
Saya bisa apa?

Kalau nyatanya tak pernah (memang tak pernah) ada saya pada pandangan matamu
Saya bisa apa?

Kalau nyatanya suara saya pun tak pernah dikenal oleh organ cortimu
Saya bisa apa?

Kalau nyatanya senyummu tak pernah ada untuk saya
Saya bisa apa?

Ini hati saya. Saya yang menetukkan kalau kata ayah pidibaiq
Kalu saya bisa lebih bahagia dan punya yang membahagiakan darimu
Kamu bisa apa?

*selamat bahagia sayang, angkat dagumu, kuatkan pandanganmu, teguhkan hatimu, lalu melangkahlah, ciptakan duniamu sendiri

Sabtu, 22 Agustus 2015

Lawan atau Kau Akan Mati Ketakutan

Lawan atau Kau Akan Mati Ketakutan

Hujan, lagi lagi hujan turun di mata sipit yang tak mempunyai lipatan di kelopak matanya. Hujannya semakin deras, membuat bola hitam matanya sedikit terlihat abu. Lalu, semakin lama sepertinya hujan itu enggan berhenti membanjiri tiap sudut matanya. Mengalir jatuh membasahi pipi tembamnya. Meninggalkan bekas yang kemudian terhapus kembali oleh hujan yang masih enggan mereda.

Dia tak mampu menjelaskan kepada siapapun. Sahabatnya sekalipun yang selama ini selalu berbagi ini itu luar dalam. Namun nyatanya setiap orang pun masih punya satu rahasia dari siapapun itu walaupun ia mengatakan "sudah terbuka". Hanya dengan menuangkannya disecarik kertas yang disobek asal dari buku belajarnya. Ia mulai menggerakkan jemarinya menari diatas selembar putih bergaris itu. Sesekali gerakan jemari indahnya itu terhenti dan matanya menerawang. Seperti mengingat sesuatu yang benci sekali tuk ia ingat.

Lawan atau kau akan mati ketakutan.

Sepertinya begitu judul tulisannya yang ku amati diam diam bak pencuri atau pengagum rahasia. Sekarang aku tengah mengamati sepasang mata hitamnya itu. AH! Benar benar mata itu terlihat sendu, sangat. Tunggu. Sepertinya dua bola hitam matanya itu menayangkan apa yang dirasanya kemudian ia tulisnya.

Lawan atau kau mati ketakutan

Selama ini kau hidup dalam kedamaian. Suara suara mereka bahkan dibuat sedemikian lembut ketika berbicara denganmu. Namun, ada beberapa mereka yang belum memahamimu. Atau memang dirinya seperti itu. Kau tidak suka kebisingan. Kau tidak suka keramaian yang mengancam. Kau tidak suara keras yang meledak ledak tidak teratur. Lebih baik mendengarkan musik dengan volume paling keras, itu pilihanmu. Tapi malam itu, mereka berisik lagi. Sangat berisik. Dengan sedikit isakan tangis seorang wanita dan terlihat biru dibawah matanya. Tapi kau tidak bisa berbuat apa apa. Hanya melipat tubuhmu dan membenamkan telingamu dengan bantal birumu. Berharap suara suara itu menghilang yang nyatanya masih bisa masuk ke organ cortimu. Mereka masih terus mencaci. Berteriak. Berserapah apapun yang dapat mereka gapai dengan mulut dan lidah serta gigi giginya yang rajin mereka sikat itu tiap pagi. Tapi kelihatannya mereka hanya membersihkan bagian mulut mereka, tidak dengan hati. Kau. Kau semakin ciut dalam duniamu itu. Dalam lipatan tubuhmu. Berharap matamu dapat terpejam cepat tanpa memperdulikan apa yang telingamu terima. Begitu seterusnya selama bertahun tahun semenjak itu. Tapi bukan untuk mereka lagi kau menggunakan modus pertahananmu. Untuk mereka diluar sana yang kapan saja bisa memasukan kembali suara suara memuakan itu ke telingamu. Itu sebabnya kau menjadi selemah ini. Selalu mengumpat dibalik mereka yang berteriak atau tiba tiba suara mereka menjadi tinggi. Tapi tidak untuk malam ini. Kau berusaha untuk tidak memperdulikannya. Tidak lagi berusaha mendengar kata tiap kata dari mulut mereka yang menghasilkan suara tinggi yang kau benci. Kau terus memasang earphone dan menaikan volume lagu yang kau putar. Dan... Kau tidak lagi merasakan sakit seperti bertahun tahun lalu. Sakit itu menghilang saat kau memutuskan mengacuhkannya. Seketika bibirmu tersenyum. Terima kasih sudah melawannya, untukku untukmu. 

Kelihatannya sepasang bulu mata itu tidak lagi basah. Dia kini sedikit menarik ujung bibirnya ke atas. Cantik. Dia amat cantik dengan senyumannya itu. Hujan entah kapan dia mereda bahkan benar benar kering. Aku tak sadar. Aku sangat terpana dengan judul tulisan dan isinya. 

Entah sudah putaran keberapa Love of My Life-nya Queen yang dibalut suara Mikha Angelo mengalun.

Rabu, 12 Agustus 2015

Tak Bernama

Kata Kak Ijonk manusia itu sulit mencintai mereka yang tak bernama.

Hm.. Kalimat itu singkat tapi bikin mikir. Sambil mendengarkan More Than This-nya One Direction yang dicover Mikha dkk. Du, kamu sudah tahu namaku belum?
Okay. Du, perkenalkan ini aku yang diam-diam memperhatikanmu, diam-diam mengagumimu, diam-diam membawa namamu ketika berbicara dengan Ibu, dan Penciptaku. Yang sebelumnya tak pernah Ibu tahu siapa saja yang mampu mengetuk pintu hati putri kecilnya.

Maaf Du, kalau nanti telingamu terasa sakit mungkin saat itu aku dengan Ibu sedang membicarakanmu. Mengikhlaskan katanya. Haha.

Hai Du, perkenalkan aku kembali. Dia yang mampu diam dan menunjukkan dengan caranya. Yang pasti tertutup oleh dia yang lain.

Karena ku sudah memperkenalkan diri padamu. Tinggal akhirnya Du, semoga Allah memberikan yang terbaik. Aamiin ...

Itu kata Kak Ijonk, Du


Daaaah, Du. Selamat istirahat. Semoga besok harimu lebih baik dan bahagia. 

Dariku yang tak bernama

Selasa, 11 Agustus 2015

Wasting Time-kah?

Malam du..
Hm maaf aku tidak menanyakan ijinmu dulu dengan panggilan barumu. Ah tidak penting.
Du kamu tengah bahagia kan? Aku harap selalu. Bersama dia? Siapapun itu. Karena apapun itu. Aku harap kamu bahagia dengan tulus (dan tanpa ada yang terluka).

Ketika beberapa hari yang lalu ku berusaha untuk melihatmu ah tidak, berbicara denganmu. Apa bisa? Hm entah. Aku hanya berusaha. 

Yang kamu tidak tahu, Du.
Aku seringkali memutar suaramu berulang kali, mengatasi rindu mungkin. Maaf lagi-lagi aku tidak ijin terlebih dulu denganmu.
Yang kamu tidak tahu, Du.
Aku melihatmu waktu itu, hampir lupa caranya mengendalikan diri.
Yang kamu tidak tahu, Du.
Efek apa yang kamu berikan setelahnya. Aku hanya bisa terdiam dan menerawang jauh tentangmu dan rumahmu. Sekaligus menggerutu dalam hati.
Yang kamu tidak tahu, Du.
Aku berusaha dan meminta agar dipertemukan lagi denganmu.
Yang kamu tidak tahu, Du.
Aku beberapa waktu menunggumu. Iya menunggumu. Padahal kutahu kau tak akan pernah datang padaku atau sekedar menengok sesaat.
Yang kamu tidak tahu, Du.
Akhirnya aku memutuskan mengejarmu. Semampuku. Padahal tidak ada tanda bahwa kau ada.
Yang kamu tidak tahu, Du.
Tiba-tiba pikiranku menyeramahiku. Menghabiskan waktu. Mengejarmu yang sedang mengejar cahaya yang lain. Tugasku adalah menunggu dengan anggun bukan mengejar dengan kasar. Yakan, Du?

Du, maaf kalau rasa ini merepotkan. Maaf kalau aku suka datang dihari-hari indahmu dengannya. Aku tidak tahu sebelumnya. Ini jujur. Hm.. Du.. Sebenarnya aku lelah merasakan fase dan cerita yang ini-ini lagi. Terlalu kuhafal alur dan akhirnya. Tapi tak pernah berhasil ku hindari. Seharusnya jauh sebelum ini aku tak boleh memutuskan memilihmu. Memilih fokus akan sosokmu. Sosokmu yang menurutku sederhana. Sederhana tapi..hm..membuat candu.

Du, terima kasih ya. Sadar atau tidak sadarnya kamu pada semua ini. Tapi karenamu. Terima kasih, Du. Dan maaf.


*seharusnya kusudah ahli mengatasi fase dan efeknya ya, Du*

Doakan saja. 

Semoga kita menjadi yang terbaik aamiin

-dari dia yang diam-diam membawa namamu saat berbicara dengan Tuhan-Nya

Kamis, 06 Agustus 2015

Tentang Cita-Cita

Tentang Cita-Cita

Hm, hai ..

Maaf aku datang lagi, maaf kalau aku begitu menyebalkan

Hai Tuan, apa kabarmu hari ini?
Kau tentu sudah bangun kan? Semangat pagi ini dan hari ininya ya.

Aku ingin sedikit becerita..
Tapi seharusnya aku tidur sekarang, entah tiba-tiba aku ingin membahasnya denganmu. Dari semalam padahal belum tidur sama sekali. Tidak penting ya? Haha

Akhir-akhir ini aku lebih sering menghabiskan waktu (selain membayangkan masa depan; kita) menonton film atau drama-drama. Haha tentu kau pasti tidak suka dengan pilihan kedua itu.

Yang aku dapatkan seperti kembali ke masa kecil, "cita-citamu apa? Mau jadi dokter. Mau jadi polisi. Mau jadi tentara. Pilot". Klasik kan?

Cita-cita itu apa? Apa banyak orang yang cita-citanya sekarang sudah tercapai? Apa orang-orang sukses saat ini semua cita-cita kecilnya bukan semu? Bukan khayalan?

Hai Tuan, aku jadi ingat sewaktu kecil dulu. Aku bilang aku ingin jadi polisi. Tapi kedua malaikat kecilku mengarahkan aku untuk menjadi seperti sekarang ini yang akhirnya coba ku nikmati tuk menggapainya. Lalu sewaktu SMA aku ingin jadi psikolog, aku ingin memahami tentang perasaan seseorang setidaknya beberapa orang. Aku ingin bisa memahami jalan pikirannya. Membaca dari sudut lain. Jauh sebelum itu, aku ingin jadi anggota FBI haha. Dalam pikiranku dulu aku ingin melakukan hal-hal yang seru dan menyenangkan. Aku menyukai tokoh itu, Jackie Chan. Yang ku tahu dan mungkin kau tahu dia hebat. Dia bisa jadi apapun yang seru dan menyenangkan. Semuanya hasil pengaruh sana-sini termasuk malaikatku hingga sekarang.

Dan saat ini diwaktunya aku harus tidur karena semalam nonton drama tapi ku malah bercerita seperti ini denganku. Tunggu. Kali ini aku serius. Drama ini keren. Tak ada yang ku tunjukkan padamu kalau itu hanya hal biasa, kecuali pemikiranmu memang seperti itu.

Tentang detektif.

Dan kembali, tiba-tiba aku kepikiran dengan jurusan yang dulu pernah ku abaikan lalu ku pilih tapi dia mengacuhkanku lagi. Kriminolog. Aku ingin ada di dunia itu. Sepertinya seru dan menyenangkan.

Entah yang mana yang akhirnya akan bersahabat denganku didepan. Semoga yang terbaik ya aamiin. Denganmu, bagaimana? Cita-cita kecilmu apa?

Hm sepertinya sekarang aku benar-benar harus tidur. Dah Tuan, terima kasih ya. Semoga harimu lebih baik. 

Selasa, 04 Agustus 2015, 06.23 WIB