Mereka tertawa renyah, menciptakan keramaian sendiri
dikamar Dafa. Sepasang sepupu itu memang saling melengkapi, sekali lagi suara
tawa itu memecah kesunyian ditengah hari yang begitu panas ini. Tapi sepertinya
matahari tak mampu meredam gelak tawa mereka.
"Ra liat itu deh muka kamu
hahaha lucu sekali" ucap Dafa mengejek sepupu jauhnya itu diselangi tawa
canda. Dan Maudira hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah kakak sepupunya
itu.
***
"Wuih kamu rapi bener Ra, kita
kan mau makan diluar doang" komentar Dafa atas penampilan sepupunya yang
terlihat sangat anggun itu. "Tapi, cantik kok hehehe"
"Huh ... Aku kan cuma pengin
terlihat rapi aja Daf biar orang juga gak risih sama aku. Hehe makasih Dafa,
yaudah yuk kita jalan" balas Maudira sumringah. Penampilannya malam ini
memang berbeda jauh dari tiga tahun sebelumnya yang acak-acakkan tak
mempedulikan pandangan orang sekalipun terhadapnya.
Terdengar suara merdunya David Cook melantunkan lagu Always Be
My Baby yang dari tadi diputarkan oleh sipemilik kafe sederhana ini.
Menambah kesan romantis untuk sepasang kekasih yang memang sengaja membawa
langkah kakinya masuk ke dalam kafe dengan nuansa keromantisan ini. Dafa dan
Maudira memilih dekat jendela. Mata Maudira terus melekatkan pandangan ke arah
luar kafe, mengamati dan menelusuri sesuatu yang jauh dari pandangannya selama
ini. Dikotanya ia hanya mengenal sebuah kemacetan.
"Minum dulu Ra cokelat
panasnya" ucapan Dafa membuyarkan lamunannya itu.
"Kamu besok mau kemana Ra
?" tanya Dafa pada sepupunya yang sedang menyeruput cokelat panasnya itu
hati-hati.
"Aku mau jalan-jalan aja Daf, mau cari sesuatu yang
unik yang tak ku temui di Jakarta." balas Maudira setelah meletakkan cangkir
minumannya diatas meja mereka tanpa menatap wajah Dafa sedetik pun, kemudian ia
melempar pandangannya lagi ke arah jalanan didepan kafe itu.
Pepohonan-pepohonan dipinggir jalan itu seperti sebuah
payung bagi aspal yang terasa panas ketika matahari menemaninya.
***
BRUKK !!!
Barang belanjaan yang baru tadi ia beli terhempas ke
lantai, keluar dari tempat persembunyiannya. Tak lama kemudian ia langsung
mendengus kesal tapi hanya bisa tertahan dihatinya. Dengan perlahan ia
membereskan semuanya.
DEG !
Hatinya berdegup kencang, tak teraturan, seandainya oarng
yang didepan matanya kini bisa mendengarnya, matilah ia, gugup malu. Entah apa
yang membuat alunan detak jantungnya itu menjadi seperti itu.
"Sorry ya tadi gue
gak lihat kalo ada orang" ucap lelaki bertubuh tegap itu, dengan rambut
keritingnya dan tatapan menusuk itu. Maudira tak bisa menjawab, bibirnya kelu.
Banyak kosakata yang tersimpan tapi tak mampu ia keluarkan.
Setelah barang belanjaannya rapi,
Maudira buru-buru meninggalkan lelaki itu tanpa satu kata pun. Rasanya ia tak
ingin lama-lama dekat dengan lelaki yang menawan itu.
***
"Oh jadi nama kamu Maudira
Anjani" ucap lelaki disebelahnya itu.
"Iya Din, kok kita bisa
sama-sama dari Jakarta ya ? Kebetulan banget." timpal Maudira.
"Bukan kebetulan namanya, itu
takdir. Gak ada kebetulan didunia ini karena semuanya udah direncanakan-Nya dan
terjadi pada waktu yang tepat"
"Iya ya. Tapi kadang takdir
itu menyakitkan Din" tersirat kesedihan dimata perempuan itu. Teringat
lagi masa lalu yang begitu menyakitkan yang sempat mematikan imajinasinya
terhadap dunia.
Percakapan mereka terus berjalan.
Membicarakan diri masing-masing tapi tetap menyatu, sama sekali tak terlihat
kejenuhan dari raut wajah mereka. Hingga senja mulai menampakkan diri, mereka
masih terhanyut dengan perasaan mereka masing-masing. Akhirnya ponsel Maudira
bergetar, tampak sebuah nama dilayar ponselnya "Dafa".
"Siapa ? Pacar kamu ya ?"
Dino coba mengintrogasi Dira setelah ia selesai menelepon.
"Bukan kok, itu sepupu aku. Hm
aku disuruh pulang nih. Aku duluan ya" ucap Maudira mengakhiri pertemuan
mereka.
Dira langsung melangkah ke arah
pintu keluar kafe itu. Tak sadar kalau Dino tiba-tiba telah berada
disampingnya dan menggenggam jemarinya.
"Aku antar yuk" ucap Dino
seraya menarik tangan perempuan itu yang terasa lembut.
Tanpa penolakkan perempuan berparas Minang itu menghempaskan
tubuhnya diatas sepeda motor berwarna merah milik laki-laki yang baru tadi
siang dikenalnya karena tak sengaja.
Batam menjadi begitu indah
dimatanya, lebih indah dari tiga tahun yang lalu ia kesini. Apa mungkin karena
lelaki yang berada didepannya, yang tengah memboncenginya dengan sangat
hati-hati. Lelaki yang memiliki senyum seperti pangeran berkuda putih,
yang telah berhasil mengobark-abrik hatinya hari itu. Cuaca kota Batam yang
kala itu agak sedikit mendung menjadi tak terasa karena jaket Dino yang
dipakainya, menyelimuti tubuh mungilnya itu. Senyum bahagia terus-menerus
terpancar dari lengkungan bibir tipisnya itu serta mata cokelatnya.
***
Dua tahun setengah telah berlalu,
minggu depan adalah hari pernikahannya dengan Dino. Selama waktu itu mereka
saling mengisi, Jakarta, menjadi tempat kedua yang menyaksikan berlian-berlian
cinta yang terpancar dari dua pasang mata insan ini. Pertemuan mereka memang
telah direncanakan oleh Sang Kuasa hingga tak dapat mereka tolak. Berawal dari
tabrakan tubuh hingga barang bawaan Dira berserakan saat mereka di Batam. Tapi,
malam ini wajah Dira tak terlihat bahagia, matanya memancarkan kekhawatiran
yang begitu mendalam. Tangannya masih menggenggam ponselnya. Menatap terus
menatap ke layar ponselnya. Tak menyiratkan sebuah kepastian.
"Din ... kamu dimana ? Aku
takut." batin perempuan itu menjerit, mengharap penuh perih.
Tak lama ponselnya berdering,
melantunkan lagu The Way You
Look At Me-Christian Bautista dengan
damai. Dengan sergap ia langsung meraih ponselnya yang tadi ia hempaskan ke
tempat tidurnya.
"Dino" hatinya berkata.
Kemudian ditekan tombol hijau diponselnya dan terdengar suara merdu kekasihnya
itu yang meleburkan ketakutannya malam ini.
"Maaf ya sayang, tadi
handphone aku lowbat. Aku udah sampai dihotel nih. Maaf ya aku sudah membuatmu
khawatir" ucap lelaki bertubuh tegap diseberang sana.
"Iya Din, kamu jaga diri
baik-baik ya. Kamu pulang lusa kan ?" balas kekasih pria yang berusia tiga
tahun diatas wanita itu.
"Iya sayang, lusa aku pasti
udah di Jakarta. Dan lusanya lagi aku siap melingkarkan cincin dijari manismu
sayang. Aku sayang kamu. Aku pasti pulang"
"Ingat ya disini ada aku yang
menunggu kamu pulang untuk memakaikan cincin dijemari manisku. Kamu. Aku sayang
kamu, Dino Pratama" ucapan Dira akhirnya mengakhiri pembicaraan mereka tengah
malam itu.
Paris, membuatkan jarak untuk
sepasang kekasih yang tinggal beberapa hari lagi akan bersatu dengan sebuah
janji bersama. Jarak membuat seseorang menyadarkan akan kerinduannya pada
seseorang yang dituju, begitulah yang dialami Dira malam ini.
***
Ponsel Dira berdering saat ia
sedang asik membaringkan tubuh mungilnya itu diatas tempat tidurnya yang dua
hari hari lagi akan ia tinggalkan. Tertera disana sebuah nomor tanpa nama.
Dengan ragu ia menjawab panggilan itu.
"Halo, ini Dira ?" terdengar
suara disana dengan isakan tangis dibelakangnya.
"Iy ... iya. Ini siapa ?"
jawab Dira ragu dan kebingungan.
"Ini tantenya Dino, Dir. Kamu
tolong keluar rumah ya sebentar disana sudah ada mobil yang menjemput kamu.
Kamu ikut aja ya, jangan banyak tanya."
TUT...TUT...TUT
Terdengar sambungan telepon terputus. Ia langsung
melangkahkan kakinya keluar dengan pikiran yang masih bingung. Benar, disana
ternyata sudah ada sebuah mobil terpakir.
Dengan perasaan yang tak menentu,
ia hanya bisa berdiam diri, mengikuti langkah kaki seseorang didepannya.
Langkah mereka terhenti pada kamar bernomor 213. Ia masih kebingunan menatap
orang-orang yang berada disana, semuanya terasa asing baginya. Tangannya
memberanikan diri membuka pintu kamar itu.
"Dinoooo ...." ucap
Maudira lemas kemudian terasa gelap semuanya.
Saat ia membuka mata hanya ada
seorang wanita yang ia kenali, mamanya Dino. Ia coba memberikan kekuatan pada
calon menantunya itu.
"Sabar ya sayang, kita semua
disini memang kehilangan Dino, tapi kamu jangan terlalu larut ya. Kamu masih
muda, jalanmu masih panjang dan kamu gak boleh terpaut sama masa lalu."
ucap wanita bermata sipit dihiasi oleh kacamata, terlihat agal bengkak dari
matanya.
***
TOK!!! TOK!!! TOK!!!
Suara ketukan tangan seseorang pada
pintu kamarnya terdengar keras. Tersentak ia dari tempat tidurnya. Dengan mata
yang masih menerawang kamarnya sendiri, ia mengabaikan suara itu, hanya dijawab
sekenanya.
Berkali-kali ia mencubit lengannya
sendiri. "Aw ..." terasa sakit karena cubitannya sendiri.
***
Raut mukanya masih tetap tak
percaya, matanya masih menerka-nerka. Setelah semuanya ia ceritakan pada Dafa,
sepupunya lewat telepon. Dafa hanya menanggapinya santai, padahal sepupunya itu
tengah kebingungan setengah matimencari-cari yang sebenarnya.
"Udah ah kamu siap-siap sana,
nanti aku jemput" perintah kakak sepupunya itu.
Tak ada balasan dari ujung sana.
Hening.
"Udah. Udah. Kamu mandi sana
jangan melamun terus. Masa depan kamu yang nyatanya tengah menunggumu disini.
Jangan diintip-intip segala makanya." ledek sepupunya diseberang sana
dengan tawa yang menyudutkannya.
KLIK ! Sambungan telepon
mereka terputus.
Dira masih tak habis pikir. Yang
selama ini terjadi hanyalah mimpi. Entah mimpi buruk atau mimpi indah. Ia tak
mengerti. Tapi, itu semua terasa seperti bukan mimpi, ia masih bisa merasakan
tangan halus lelaki yang bernama Dino itu. Pipinya juga masih terasa basah
karena tangisnya yang menigiri kepergian kekasihnya dalam mimpi itu.
***
Enam bulan kemudian, novel
pertamanya terbit. Mengintip
Masa Depan. Dengan cover seorang wanita dan bayangan seorang
lelaki dibawah sinar rembulan terpisah jarak. Terinspirasi dari mimpinya
sendiri. Imajinasinya yang begitu kuat.
"Imagination more
important than knowledge"-Albert Einstein
syifamaudiyah:)