Sabtu, 16 Mei 2015

[tanpa judul]

Sudah berjam-jam berlalu setelah pesan singkat via media sosial di jaman sekarang ini ku terima bahkan sudah ku balas yang akhirnya hanya ku baca tanpa ku balas lagi.

Tiba-tiba saja pikiranku melayang kembali ke waktu pertama ponselku bergetar saat menerima pesan singkat itu. Ternyata masih terasa pilu disini. Masih ada getir yang nyatanya tak bisa ku tutupi. Karena otakku sudah menerjemahkan begitu cepatnya makna kalimat itu yang berefek ketidakfokusanku saat dinas malamku. Haha bodoh. Kamu tidak tahu kan? Lagi-lagi kamu menjadikan ini sebuah lelucon.

Diy, sejujurnya aku kesal, muak dengan semuanya. Dengan kamu. Yang awalnya kukira kamu memahami dan menghargai tapi kini? Menjadikanku terus merunduk dan tersudut. Mau kamu apa? Melihat aku menangis-nangis mengeluarkan air mata begitu banyak cuma untuk kamu? Diy, aku muak. Muak. Sama kamu. Sama tingkah lakumu yang mungkin menurutmu itu biasa dan hanya bercanda. Tapi yang kurasa bukan candaan, Diy. Bukan sesuatu yang bisa kamu jadikan sebagai candaan agar kamu ataupun orang lain yang tau bisa tertawa.

Diy, haruskah aku meledak-ledak seperti bom waktu dihadapanmu? Menghancurkanmu dengan hitungan detik. Mengeluarkan muntahan-muntahan yang menjijikan yang selama ini ku tahan-tahan. Kalau kamu ingin dia, ingin mereka yang indah, silakan. Tapi tak perlu memberitahu aku dengan makna seakan kau ingin melihat tangisanku yang menurutmu lucu.

Diy, terima kasih atas pembelajaran bahwa tak selamanya ketulusan dan kesabaran diartikan sama dengan yang dimaksud. Terima kasih telah membukaku dengan terlebih dulu menyayat-nyatatnya perlahan.

Terima kasih, Diy. Semoga tidak lagi kamu.

Selasa, 05 Mei 2015

Pesan Yang Sering Tak Terbalas

Buk, maaf bila ku sering lupa tak mengabarimu
Membuatmu khawatir dan menunggu dengan getir
Buk, maaf bila ku sering mengabaikan obrolan hangat yang ingin kau ciptakan bersamaku
Maafkan aku yang kadang terbawa egoku di masa muda
Buk, maaf bila ku sering lupa membalas pesan singkatmu
Iya dengan alasan yang lagi-lagi bahwa ku lupa
Buk, maaf bila sering ku mementingkan diriku sendiri
Melupakan segala usaha dan lelahmu yang padahal lebih dariku
Merasa seakan aku lupa bahwa pegal di kaki, tangan, leher, atau punggungku tak seberapa dengan yang kau rasa
Buk, maaf bila waktuku dirumah untuk menemanimu semakin lama semakin berkurang
Membuatmu sendirian
Buk, bukan tak mau atau bahkan aku lupa untuk mengucapkan maaf padamu, tapi aku tak mampu
Menghadapi mata sendumu, ketika aku mengucapkan itu
Karena bagaimanapun, aku tetap anak perempuan kecilmu yang masih bisa mengeluarkan kristal beningnya dihadapanmu
Karena aku tak sekuatmu, Buk
Buk, maaf kalau aku sering menolak ucapanmu
Mengacuhkan kata perkata yang keluar dari bibir tipismu
Membuatmu merasakan nyeri di organ sebelah kananmu
Buk, seberapa sering aku lupa, aku mengabaikan, yang pasti yang tentunya kau tahu, sayang, kasih, cintaku untukmu tetap ada meski terkadang tertutup oleh rasa semu yang lain