“Nanti gue tunggu lo ya
ditaman komplek jam setengah lima sore” isi pesan dari seberang sana satu jam
yang lalu. Sekarang sudah pukul setengah lima sore tepat. “Ibuuuuuu, aku pergi
ke taman sebentar ya” Ucapku pada seseorang yang sangat ku cintai dan tiga kali
lebih ku cintai dari ayahku, ya dia perempuan yang selama ini menemani ayahku
hampir 25 tahun lamanya, aku memanggilnya dengan sebutan “Ibu”. “Mau ngapain
sayang ? Ini udah sore, kamu juga belum bantuin ibu nyiapin masakan untuk makan
malam nanti” Ucap Ibuku. “Iyaaa ibu, aku ga lama kok, udah ya aku pergi ibu
sayang” “Mmuaach” Balasku sambil mencium pipi ibuku.
***
“Jenoooooong”. “Huh …
lagi-lagi panggilan itu lagi terdengar ditelingaku” gerutuku dalam hati.
Setelah mencari-cari orang yang menyebalkan itu, aku menghampirinya dan
langsung mencubit lengannya.
“Duhhh … apaan sih main
cubit-cubit aja, sakit tau” Ucap orang menyebalkan itu.
“Lo sih teriak-teriak
aja, ngatain gue lagi, malu tau gue!” Bela ku padanya.
“Hahaha abis lo kalo
gak gue teriakin kaya tadi, lo masih bingung kan sekarang nayiriin gue”.
“Yaudah apaan ? Lo
ngapain nyuruh gue kesini” Kesalku.
“Weitsss, santai
manisss, ayo sini ikut gue dulu”. Ucapnya sambil menarik tanganku menuju danau
di taman itu. Aku menurutinya dan setibanya dia melepaskan tanganku.
“Duh ngapain sih lo
bawa gue kesini ? Gue belom bantuin ibu gue tau, ini udah ham …” cerocosku
dipotong olehnya.
“Aduhhh … Rin lo diem
dulu sih bentar. Ada yang mau gue omongin sama lo !” timpalnya. Aku pun terdiam
menurutiunya, tapi anganku pun melayang jauh.
“Rin gue suka sama lo,
gue mau hubungan kita ga sebatas temen dari kecil aja tapi lebih dari itu. Lo
mau ga jadi pacar gue ?” Ucap Rizu.
Yap cowo yang barusan
menyatakan perasaannya padaku itu namanya Rizu Pratama Putra. Dia teman paling
setia yang ku miliki sampai sekarang. Kita berteman sejak kita masih dalam
kandungan ibu kita masing-masing, ya karena ibu-ibu kita sendiri pun bersahabat
sejak dibangku SMA.
Aku pun terdiam,
benar-benar tak tahu harus bilang apa ke Rizu, seseorang yang sebenarnya telah
mengisi hari-hariku bahkan hatiku selama ini. Iya aku memang menyukai bahkan
mungkin lebih dari itu, aku mencintainya, aku mencintai Rizu, teman kecilku.
Tapi karena alasan persahabatan, aku menyembunyikannya. Tak ada yang tahu
selain diriku, hatiku, dan Tuhanku. Sekarang Rizu Menyatakan perasaannya
padaku, aku senang tapi … aku tidak boleh egois, aku tidak ingin persahabatan
aku dengan Rizu hancur hanya karena perasaan.
“Maafkan aku Rizu”
Ucapku dalam hati.
“Rin … Kok lo malah
bengong sih, gak ngedengerin lagi apa yang tadi gue omongin” Ucap Rizu padaku,
kesal.
Aku pun tersadar dari
lamunanku. “Ah … hanya dalam anganku bukan kenyataan”. Sesakku dalam hati.
***
“Ahh
…” gumamku. Aku langsung merebahkan diri setelah makan malam bersama dengan
ayah dan ibuku. Aku memang hanya anak tunggal dikeluarga ini. Mungkin buat
sebagian orang jadi anak tunggal itu menyenangkan tapi buatku itu tidak.
Terkadang aku merasa sangat kesepian, seperti halnya sekarang. Aku tak tahu mau
berbagi semua cerita dipundakku dengan siapa. Dari kecil aku terbiasa
memendamnya sendiri. Aku memang punya seorang ibu yang mau mendengar
keluh-kesah anaknya, tapi tidak untuk hal ini. Aku merasa tidak enak untuk
menceritakan masalah ini padanya. Dan tempat berbagi ku yang lain adalah Rizu.
Tapi kali ini aku sendirian.
“Tuhan,
kirimkan aku malaikat-Mu agar aku tidak merasa kesepian didunia yang
menyeramkan ini” protesku yang tak seharusnya.
***
“Rindu Asshilaaaaaa” teriak guruku dari depan meja guru
sana. Semua anak-anak dikelas pun menoleh ke arahku. “Iya maaf bu, saya” ucapku
malas.
“Kamu melamunkan apa sih ?” Balas guruku yang suaranya
menggelegar itu. Bu Ririn namanya. Dia guru yang paling ditakutin oleh
anak-anak didiknya. Entah apa yang membuatnya begitu menyeramkan dihadapan
murid-muridnya.
***
Akhirnya
hari yang ku tunggu-tunggu itu tiba, kelulusan. “Yeay !!!” Kesenangan pun
terpancar dari raut teman-teman ku yang lain terkecuali Rizu. Entah kenapa,
beberapa hari ini, dia lebih senang sendiri, bukan karena dia mengetahui
perasaanku padanya, bukan juga karena dia tidak lulus. Bahkan dia termasuk 10
peringkat terbaik disekolah nilai kelulusannya.
***
“Rizzzzzz, lo kenapa sih ? akhir-akhir ini
kayanya gue perhatiin diem aja, lo ga seneng apa termasuk 10 terbaik ? Lo
kenapa sih ? Cerita gitu kek sam …” ucapan ku terpotong karena tangannya Rizu
dengan cepatnya menutup mulutku.
“Rin
… lo cerewet banget sih ! Waktu sebulan yang lalu gue ngajak lo ke taman
sebetulnya gue mau cerita eh lo malah gak dengerin. Lo tau ga ? Gue sedih Rin
nih sekarang, kita kan udah lulus, berarti kita ga ketemu dan main-main bareng
lagi dong ditaman komplek” ucapnya.
“Ha
? Emang lo mau kemana Riz ?” balasku sambil membayangkan kala senja itu.
Memalukan sekali, aku membayangkan Rizu mengutarakan perasaannya padaku.
“Gue
kan disuruh bokap gue lanjutin kuliah di Ausie Rin. Minggu depan gue berangkat,
setelah gue ngurusin surat-surat yang diperluin nanti.” Dengan raut muka sok
tegar Rizu menjelaskannya.
“Kok
lo baru cerita sama gue sih ?” sewotku padanya yang sebetulnya menahan
kesedihan juga. Gimana tidak, seseorang yang selama ini, hampir 17 tahun
bersamaku, ingin meninggalkanku untuk jarak yang jauh.
“Tuhan … apalagi ini ?”
tanyaku dalam hati.
“Ya
maaf Rin, lo waktu itu gue ceita malah sibuk sendirian sama lamunan lo itu. “Bela
Rizu padaku.
“Hehehe
maaf Riz, lo emang berapa lama ? Yaudah sih, kita kan masih bisa
telfon-telfonan Riz, kirim-kiriman email juga bisa kan” Ucapku pada Rizu dengan
maksud menenangkan perasaan kita masing-masing.
“Iya
sih, tapi gue gak janji Rin, kan disana gue buat belajar Rin, pasti gue bakalan
sibuk banget dan gue juga gak tau balik kesininya kapan Rin.” Ucapan Rizu tadi
membuatku terdiam beberapa saat.
Dengan senyuman yang
terpaksakan aku membalas ucapan Rizu tadi “Oh … yaudah gapapa kali Riz, lo
kesana kan juga buat belajar, jadi dokter yang hebat ya Rizuku sayang.”
Tanpa terasa senja pun
memunculkan kengahatan warna memerahnya. Dia yang menyaksikan betapa perasaanku
begitu mendalam pada sosok disebelahku kala itu. Sosok yang sangat ku kagumi
tanpa terkecuali yang ada didalam dirinya. Menyedihkan perpisahakan kita selalu
dengan sepotong senja memerah.
***
bersambung ke- Di Balik Senja II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar