Sabtu, 22 Agustus 2015

Lawan atau Kau Akan Mati Ketakutan

Lawan atau Kau Akan Mati Ketakutan

Hujan, lagi lagi hujan turun di mata sipit yang tak mempunyai lipatan di kelopak matanya. Hujannya semakin deras, membuat bola hitam matanya sedikit terlihat abu. Lalu, semakin lama sepertinya hujan itu enggan berhenti membanjiri tiap sudut matanya. Mengalir jatuh membasahi pipi tembamnya. Meninggalkan bekas yang kemudian terhapus kembali oleh hujan yang masih enggan mereda.

Dia tak mampu menjelaskan kepada siapapun. Sahabatnya sekalipun yang selama ini selalu berbagi ini itu luar dalam. Namun nyatanya setiap orang pun masih punya satu rahasia dari siapapun itu walaupun ia mengatakan "sudah terbuka". Hanya dengan menuangkannya disecarik kertas yang disobek asal dari buku belajarnya. Ia mulai menggerakkan jemarinya menari diatas selembar putih bergaris itu. Sesekali gerakan jemari indahnya itu terhenti dan matanya menerawang. Seperti mengingat sesuatu yang benci sekali tuk ia ingat.

Lawan atau kau akan mati ketakutan.

Sepertinya begitu judul tulisannya yang ku amati diam diam bak pencuri atau pengagum rahasia. Sekarang aku tengah mengamati sepasang mata hitamnya itu. AH! Benar benar mata itu terlihat sendu, sangat. Tunggu. Sepertinya dua bola hitam matanya itu menayangkan apa yang dirasanya kemudian ia tulisnya.

Lawan atau kau mati ketakutan

Selama ini kau hidup dalam kedamaian. Suara suara mereka bahkan dibuat sedemikian lembut ketika berbicara denganmu. Namun, ada beberapa mereka yang belum memahamimu. Atau memang dirinya seperti itu. Kau tidak suka kebisingan. Kau tidak suka keramaian yang mengancam. Kau tidak suara keras yang meledak ledak tidak teratur. Lebih baik mendengarkan musik dengan volume paling keras, itu pilihanmu. Tapi malam itu, mereka berisik lagi. Sangat berisik. Dengan sedikit isakan tangis seorang wanita dan terlihat biru dibawah matanya. Tapi kau tidak bisa berbuat apa apa. Hanya melipat tubuhmu dan membenamkan telingamu dengan bantal birumu. Berharap suara suara itu menghilang yang nyatanya masih bisa masuk ke organ cortimu. Mereka masih terus mencaci. Berteriak. Berserapah apapun yang dapat mereka gapai dengan mulut dan lidah serta gigi giginya yang rajin mereka sikat itu tiap pagi. Tapi kelihatannya mereka hanya membersihkan bagian mulut mereka, tidak dengan hati. Kau. Kau semakin ciut dalam duniamu itu. Dalam lipatan tubuhmu. Berharap matamu dapat terpejam cepat tanpa memperdulikan apa yang telingamu terima. Begitu seterusnya selama bertahun tahun semenjak itu. Tapi bukan untuk mereka lagi kau menggunakan modus pertahananmu. Untuk mereka diluar sana yang kapan saja bisa memasukan kembali suara suara memuakan itu ke telingamu. Itu sebabnya kau menjadi selemah ini. Selalu mengumpat dibalik mereka yang berteriak atau tiba tiba suara mereka menjadi tinggi. Tapi tidak untuk malam ini. Kau berusaha untuk tidak memperdulikannya. Tidak lagi berusaha mendengar kata tiap kata dari mulut mereka yang menghasilkan suara tinggi yang kau benci. Kau terus memasang earphone dan menaikan volume lagu yang kau putar. Dan... Kau tidak lagi merasakan sakit seperti bertahun tahun lalu. Sakit itu menghilang saat kau memutuskan mengacuhkannya. Seketika bibirmu tersenyum. Terima kasih sudah melawannya, untukku untukmu. 

Kelihatannya sepasang bulu mata itu tidak lagi basah. Dia kini sedikit menarik ujung bibirnya ke atas. Cantik. Dia amat cantik dengan senyumannya itu. Hujan entah kapan dia mereda bahkan benar benar kering. Aku tak sadar. Aku sangat terpana dengan judul tulisan dan isinya. 

Entah sudah putaran keberapa Love of My Life-nya Queen yang dibalut suara Mikha Angelo mengalun.

Tidak ada komentar: