“Shenaaaaaa …” namanya dipanggil
oleh sosok wanita bertubuh ramping yang mempunyai mata bulat berwarna cokelat
dan dibatasi oleh bingkai kaca mata dengan warna senada dengan matanya.
Tubuhnya sangat ideal bila dibandingkan dengan sosok ibu-ibu yang lain yang
pernah melahirkan. Sama sekali tak kelihatan bahwa ia telah mempunyai dua orang
anak. Seketika yang dipanggilnya mengarahkan matanya pada asal suara. Tak lama,
pupilnya membesar, mengetahui bahwa yang ia tunggu sejak setengah jam yang lalu
telah datang. Senyum mengembang diantara bibir keduanya. Haru kerinduan pun
menguak, mereka saling melepaskan rasa rindu yang telah bertahun-tahun mereka
telan sendiri. Jarak yang teramat jauh memang menjadi pembatas untuk dua
sahabat ini.
“Kamu
apa kabar Fir ?” akhirnya Shena mengawali pecakapan mereka.
“Aku
baik Shen, kamu gimana ? Paris kayanya udah ngeubah kamu banget ya ?” tanya
Fira sambil mencolek lengan sahabatnya dengan senyum jail.
“Ih
apaan sih Fir, engga, aku masih sama kaya yang dulu kok hehe.” balas Shena
dengan muka memerah. “Oh ya, gimana kabarnya Jihan dan Angga ? Suamimu mana ?
Mereka gak ikut kesini ?”
“Mereka
tadi yang nganterin aku kesini, tapi abis itu mereka pergi ke Kuta, mau
menikmati senja katanya” jawab Fira yang lagi-lagi menjaili Shena dan membuat
Shena seketika terdiam. “Tuhkan … kamu
mah, baru aku sebut senja aja udah langsung diem gitu. Katanya udah move on.
Ayo dong sayang lupain Dimas. Delapan tahun di Paris masa belum bisa membuat
kamu lupa sama dia sih ?”
“Aku
udah coba Fir, tapi ngga bisa”
“Kamu
tuh belum sepenuhnya mencoba, buktinya kamu masih kepikiran dengan dia. Usaha
itu sama dengan move on Shena ! Hati kamunya aja tuh yang belum mau untuk
lupain lelaki itu. Tutup hati untuk dia dan buka hati untuk Reno, dia yang udah
setia nungguin kamu, perhatian, peduli sama kamu. Atau kalau kamu gak suka sama
dia, buka hati untuk lelaki lain diluar sana yang lebih baik dari Dimas, yang
bisa ngasih pelangi lagi dihidup kamu, bukan seperti Dimas yang cuma bisa kasih
kamu kesakitan sama kegelapan!”
“Fir,
cukup !” ucap Shena pada Fira. “Aku kesini untuk ngelepasin kangen aku sama
kamu dan sama kota ini, bukan untuk disalah-salahin, bukan untuk
diungkit-ungkit lagi rasa sakit aku. Please, jangan kacauin liburan aku ini”
dengan memelas Shena menutup wajahnya, berusaha menahan bulatan indah itu untuk
tidak mengeluarkan mutiaranya.
Merasa
bersalah dengan ucapannya tadi, Fira pun meminta maaf dan memeluk Shena. “Shen,
maafin aku, aku gak maksud bikin kamu sedih dan bikin kacau liburan kamu, aku cuma
mau kamu gak terikat lagi sama janjinya palsunya Dimas.”
“Gak
apa-apa Fir, aku yang salah aku yang masih belum bisa lupain Dimas. Udah yah,
gak usah bahas tentang Dimas lagi” Akhirnya kedua sahabat itu kembali
menyunggingkan senyum terindahnya, saling menghapus air mata satu sama lain dan
sore mereka ditutup dengan kehadiran si jingga di Jimbaran.
***
“Maaaaaah”
suara dari bibir mungil itu hampir menghentakkan tubuh mereka berdua yang
sedang asik menikmati makan malamnya. Di belakangnya, ada sosok lelaki yang
kira-kira berumur 7 tahun mengawasinya sambil melambaikan tangan pada wanita
yang dipanggil adiknya. Dan yang dipanggilnya pun mengulas senyum pada malaikat
kecil yang setengah berlari menghampirinya.
“Sini
sayang, papa mana ? Oh ya, kenalin, ini tante Shena sahabat mama dari SMP,
cantik kan ?” ucap Fira pada Jihan yang baru berumur lima tahun setengah dan
kakak lelakinya, Angga, setelah menyuruh mereka duduk dikursi yang masih
kosong.
“Hai
tante” ucap Angga dengan gaya sok cool sambil mengulas senyum pada Shena. “Papa
tadi nganterin aku sama Jihan kesini tapi abis itu pergi lagi, katanya ada
urusan.” Angga memberikan penjelasan
pada mamanya.
***
Hampir
tiga minggu berlalu, yang artinya tinggal sekitar seminggu lagi masa liburannya
di kota yang terkenal dengan pantai menawannya. Tiba-tiba dering ponselnya
membuyarkan lamunannya.
“Hai
Shen, kamu dimana ? Aku lagi sama keluargaku nih jalan-jalan, kamu ikut yuk,
daripada kamu ngga jelas jalan-jalan sendirian” seakan-akan yang meneleponnya
punya indera keenam karena bisa menebak yang sedang ia lakukan saat ini. Belum
sempat ia menjawab, wanita itu mengeluarkan suaranya lagi “kamu dimana ? Aku
jemput ya ?”
“Aku
di Tanah Lot, Fir”
“Oke,
kita jemput kamu, jangan kemana-mana!” perintah Fira dengan nada seakan-akan
mengancam pada anak kecil berumur lima tahun yang membuat Shena tertawa.
“Hahaha
iya iya” akhirnya sambungan telepon terputus.
***
Shena
berusaha mengendalikan perasaannya dan sistem pernapasannya yang tiba-tiba
seperti tersendat buah kedondong dengan duri-durinya. Bola matanya menyiratkan
kekagetan dan kekecewaan yang mendalam. Langkah kakinya terhenti tak mau lagi
melangkah maju menghampir sahabatnya dan keluarga bahagianya itu. Ia
seakan-akan ingin memutarkan tubuhnya lalu lari sekencang-kencangnya menghidari
sosok yang sekarang berdiri dihadapannya dengan tatapan dingin serupa
dengannya. Tapi, tangan lembut sahabatnya itu lebih cepat menyergah tangannya
yang kaku dan menariknya masuk ke dalam keluarga bahagia itu. Mereka bahagia
tapi Shena tidak.
Selama
perjalanan di dalam mobil, Shena hanya asik dengan alam pikirnya. Sama dengan
lelaki yang tengah mengemudikan mobil itu. Pikirannya melayang-layang ke
dimensi waktu delapan tahun yang lalu. Hanya suara riuh Jihan dan Angga yang
terdengar, sesekali Fira mengeluarkan suara tawanya karena tingkah kedua
anaknya itu, dan Shena pun menimpali seadanya, lalu kembali ke dunianya.
Seakan-akan jutaan kalimat datang menarik-nariknya dan melilit tubuh yang rapuh
itu, menanyakan sosok lelaki yang tengah mengemudikan stir mobil itu.
***
Jam
dindingnya telah berdenting dua belas kali yang artinya udah tengah malam,
tetapi, matanya juga belum menyiratkan tanda-tanda ia harus memejamkan mata
untuk beristirahat. Sejak dua jam yang lalu ia mengirimkan pesan singkat
permintaan maaf pada sahabatnya karena ia meninggalkan keluarga bahagia itu
tanpa pemberitahuan. Ia tak tahan lama-lama berhadapan dengan sosok lelaki itu
yang sangat mirip dengan masa lalunya, Dimas. Bulat matanya yang berwarna hitam
pekat dan lesung pipinya yang dulu mampu mengacak-acak hatinya. Hanya bedanya
lelaki itu kini lebih tegap, bahunya bidang, dan memiliki kumis tipis serta dia
memakai kaca mata berwarna senada dengan kaca mata istrinya. Ya mereka memang
cocok, tak mungkin ia adalah Dimas.
Tapi,
lagi-lagi perasaannya tak bisa ia bohongi. Ada sesuatu yang sangat dalam
dipalung hatinya yang mengatakan kalau lelaki itu adalah Dimas. Lelaki yang membuatnya
menunggu selama delapan tahun tanpa kepastian. Lelaki yang menghadirkan pelangi
ditengah senja dan mengungkapkan perasaannya dengan caranya yang begitu memesona
dan lelaki itu juga yang menorehkan luka yang teramat dalam hingga luka itu
belum juga kering hingga saat ini. Lelaki itu juga yang mengikatnya pada waktu
yang ia harapkan untuk datang dan bersatu dengan jiwanya lagi.
***
Dua
hari sebelum keberangkatannya, tiba-tiba ia mendapati pesan singkat dari nomor
yang tak ia kenali. “Kareen, aku tunggu kamu di Jimbaran jam empat sore ya …” Seketika
peredaran darahnya mengalir lebih cepat dan jantungnya seakan mencelos keluar.
Kakinya lemas, tak dapat menopang tubuhnya yang mungil itu, tak lama tubuhnya
jatuh ke atas tempat tidurnya, matanya masih menerawang, kosong seperti tak berkehidupan.
Perlahan air mata itu mengalir juga, membasahi pipinya yang cabi, seperti
mengeluarkan luka-luka lama yang selama ini mengendap dalam hati dan otaknya.
Air mata itu terus mengalir dan terhenti ketika jam dindingnya berdenting empat
kali. Teringat akan pesan yang tadi ia terimanya, dengan cepat ia menghapus air
matanya dan berusaha menghapus jejak air mata diwajahnya.
***
Sekuat
mungkin ia mengatur perasaannya, berusaha menahan rasa rindunya pada lelaki
ini. Dari jauh ia melihat seorang lelaki bertubuh tegap membelakanginya,
menghadap ke pantai lepas. Ia terlihat begitu menarik dengan kemeja biru laut
yang digulung sesikunya. Senyum pun mengembang diwajah Shena.
“Dimas”
ucap Shena pada lelaki itu. Dan lelaki itu pun mengalihkan pandangannya ke arah
Shena. “Rian ? Maaf, aku kira kamu teman aku” ucap Shena tak enak pada suami
sahabatnya itu.
“Aku
Dimas, Kareen.” Akhirnya lelaki itu membuka suaranya. Shena pun tersentak,
tanpa sadar kakinya mundur perlahan. Tapi lengan kokoh itu lebih cepat dan
lebih kuat untuk menahannya agar tidak pergi. Shena hanya terdiam, tubuhnya
kaku. Batinnya pilu. Pikirannya menerawang jauh, menyesali apa yang ia hadapi
saat ini.
“Maafin
aku Kareen …” yang diajak bicara hanya terdiam dan menunduk seakan-akan ada
sesuatu yang jatuh. Ya hatinya jatuh tepat didepan kaki lelaki itu. “Aku gak
tahu kalau selama ini kamu nungguin aku, aku gak tahu kalau selama ini yang
Fira certain itu kamu, Shena sahabatnya dan Kareen orang yang selalu ada
dihatiku. Aku juga gak nyangka kita bakal ketemu lagi dengan suasana yang
seperti ini. “
“Dimas
… yang bodoh aku, dulu aku gak sempat ngenalin kamu ke Fira dan waktu
pernikahan kalian aku juga gak datang, dan aku juga gak sadar kalau yang Fira ceritain
tentang suaminya, Rian. Rian itu kamu. Shena itu aku. Entah, aku gak ngerti
sama semuanya Dim” mutiara itu akhirnya berhamburan mengaliri pipi cabinya
Shena yang dulu sering dicubit gemas oleh Dimas. Kini Dimas, lelaki yang ia
tunggu selama delapan tahun ada dihadapannya, memenuhi janjinya. Tapi kali ini
ia datang bukan untuk bersatu dengan Shena, ia telah menjadi milik orang lain,
yaitu sahabatnya sendiri. Hancur sudah
benteng pertahanan yang selama ini Shena bangun dengan kekuatan seadanya. Dimas
gak akan pernah ia raih dari dulu, saat ini dan sampai kapanpun.
***
Setelah
kejadian sore tadi, Shena mengurung diri di kamar hotelnya. Mungkin air matanya
hampir kering. Ia benar-benar tak
menyangka, lelaki yang ia cintai dan ia tunggu selama ini sudah menjadi milik
sahabatnya sendiri, orang terdekatnya, tempatnya berbagi cerita. Kembali ia menenggelamkan wajahnya ke dalam
bantalnya. Mengerang sekencang-kencangnya. Berusaha mengeluarkan semua yang
menjadi bebannya saat ini. Tapi hanya lewat air mata ia dapat merasa, ia dapat
menjelaskan ketika kata tak dapat lagi mewakili.
Esoknya,
ia mendapati pesan singkat dari sahabatnya, Fira. Fira meminta ia untuk menemuinya
sebelum kepulangannya ke Paris. Sungguh, Shena tak tahu apa yang harus ia
lakukan, menemui Fira atau
mengabaikannya. Tapi, Fira itu sahabatnya dan dia sama sekali tak punya andil
dalam masalah ini. Bibir Shena bergetar, tangannya kaku dan lidahnya kelu. Ia
benar-benar bingung, lagi-lagi ia menjelaskan lewat air mata. “Kemana Reno ?”
desahnya dalam hati. “Mengapa ia tiba-tiba menghilang ketika ia butuh pundak
untuk berbagi”. Tangisnya semakin
menjadi teringat betapa bodohnya ia selama ini, menunggu seseorang yang tak
pasti dan mengabaikan seseorang yang ingin melindunginya.
***
Setelah
menemui Fira, hatinya lega namun tetap ada yang mengganjal. Ternyata Dimas
memenuhi janjinya tidak mengatakan apapun tentang mereka ke Fira. Dan kini
masalahnya tinggal berdamai dengan dirinya sendiri dan hatinya, termasuk memberi
celah untuk Reno.
“Shenaaaa
…” suara berat dan tak terasa asing ditelinganya itu memanggilnya, seketika ia
memutarkan lehernya pada sosok itu. Di kejauhan sosok lelaki bertubuh tegap
dengan pakaian casual menghampirinya dengan seulas senyum dan sesaat hatinya
bergetar. Hal yang pernah ia rasakan delapan tahun lalu terhadap Dimas.
“Reno”
ucap Shena pada lelaki itu. Tiba-tiba lututnya terasa lemas. Tak menyangka Reno
tidak main-main dengan ucapannya untuk menjemput Shena di Bali, 29 hari yang
lalu. Sebelum ia memutuskan berlibur ke Bali.
“Hai
Shen” dengan senyum tertampannya lelaki itu tiba-tiba berlutut dan mengutarakan
perasaannya. “Je t’aime, Shena Kareenata.” kemudian ia melingkarkan cincin di
jari manis Shena dan tangan Shena pun menarik Reno berdiri dan ia mengatakan
hal yang sama dengan seulas senyum. “Je t’aime, Reno Pratama. Je vais essayer”
pernah dimuat diblog @KlubBuku :)
syifamaudiyah:)
2 komentar:
Bagus paaaaahhhh. Gua sukaaaaaa. Tapi gua gak suka ama nama2 tokohnya -_- haha
apalah arti sebuah nama :p ini cerpen dengan alasan wahaha
Posting Komentar