Jumat, 29 Maret 2013

Senja ke- 29


 “Shenaaaaaa …” namanya dipanggil oleh sosok wanita bertubuh ramping yang mempunyai mata bulat berwarna cokelat dan dibatasi oleh bingkai kaca mata dengan warna senada dengan matanya. Tubuhnya sangat ideal bila dibandingkan dengan sosok ibu-ibu yang lain yang pernah melahirkan. Sama sekali tak kelihatan bahwa ia telah mempunyai dua orang anak. Seketika yang dipanggilnya mengarahkan matanya pada asal suara. Tak lama, pupilnya membesar, mengetahui bahwa yang ia tunggu sejak setengah jam yang lalu telah datang. Senyum mengembang diantara bibir keduanya. Haru kerinduan pun menguak, mereka saling melepaskan rasa rindu yang telah bertahun-tahun mereka telan sendiri. Jarak yang teramat jauh memang menjadi pembatas untuk dua sahabat ini.
            “Kamu apa kabar Fir ?” akhirnya Shena mengawali pecakapan mereka.
            “Aku baik Shen, kamu gimana ? Paris kayanya udah ngeubah kamu banget ya ?” tanya Fira sambil mencolek lengan sahabatnya dengan senyum jail.
            “Ih apaan sih Fir, engga, aku masih sama kaya yang dulu kok hehe.” balas Shena dengan muka memerah. “Oh ya, gimana kabarnya Jihan dan Angga ? Suamimu mana ? Mereka gak ikut kesini ?”
            “Mereka tadi yang nganterin aku kesini, tapi abis itu mereka pergi ke Kuta, mau menikmati senja katanya” jawab Fira yang lagi-lagi menjaili Shena dan membuat Shena seketika terdiam.  “Tuhkan … kamu mah, baru aku sebut senja aja udah langsung diem gitu. Katanya udah move on. Ayo dong sayang lupain Dimas. Delapan tahun di Paris masa belum bisa membuat kamu lupa sama dia sih ?”
            “Aku udah coba Fir, tapi ngga bisa”
            “Kamu tuh belum sepenuhnya mencoba, buktinya kamu masih kepikiran dengan dia. Usaha itu sama dengan move on Shena ! Hati kamunya aja tuh yang belum mau untuk lupain lelaki itu. Tutup hati untuk dia dan buka hati untuk Reno, dia yang udah setia nungguin kamu, perhatian, peduli sama kamu. Atau kalau kamu gak suka sama dia, buka hati untuk lelaki lain diluar sana yang lebih baik dari Dimas, yang bisa ngasih pelangi lagi dihidup kamu, bukan seperti Dimas yang cuma bisa kasih kamu kesakitan sama kegelapan!”
            “Fir, cukup !” ucap Shena pada Fira. “Aku kesini untuk ngelepasin kangen aku sama kamu dan sama kota ini, bukan untuk disalah-salahin, bukan untuk diungkit-ungkit lagi rasa sakit aku. Please, jangan kacauin liburan aku ini” dengan memelas Shena menutup wajahnya, berusaha menahan bulatan indah itu untuk tidak mengeluarkan mutiaranya.
            Merasa bersalah dengan ucapannya tadi, Fira pun meminta maaf dan memeluk Shena. “Shen, maafin aku, aku gak maksud bikin kamu sedih dan bikin kacau liburan kamu, aku cuma mau kamu gak terikat lagi sama janjinya palsunya Dimas.”
            “Gak apa-apa Fir, aku yang salah aku yang masih belum bisa lupain Dimas. Udah yah, gak usah bahas tentang Dimas lagi” Akhirnya kedua sahabat itu kembali menyunggingkan senyum terindahnya, saling menghapus air mata satu sama lain dan sore mereka ditutup dengan kehadiran si jingga di Jimbaran.
***
            “Maaaaaah” suara dari bibir mungil itu hampir menghentakkan tubuh mereka berdua yang sedang asik menikmati makan malamnya. Di belakangnya, ada sosok lelaki yang kira-kira berumur 7 tahun mengawasinya sambil melambaikan tangan pada wanita yang dipanggil adiknya. Dan yang dipanggilnya pun mengulas senyum pada malaikat kecil yang setengah berlari menghampirinya.
            “Sini sayang, papa mana ? Oh ya, kenalin, ini tante Shena sahabat mama dari SMP, cantik kan ?” ucap Fira pada Jihan yang baru berumur lima tahun setengah dan kakak lelakinya, Angga, setelah menyuruh mereka duduk dikursi yang masih kosong.
            “Hai tante” ucap Angga dengan gaya sok cool sambil mengulas senyum pada Shena. “Papa tadi nganterin aku sama Jihan kesini tapi abis itu pergi lagi, katanya ada urusan.” Angga memberikan  penjelasan pada mamanya.

***
            Hampir tiga minggu berlalu, yang artinya tinggal sekitar seminggu lagi masa liburannya di kota yang terkenal dengan pantai menawannya. Tiba-tiba dering ponselnya membuyarkan lamunannya.
            “Hai Shen, kamu dimana ? Aku lagi sama keluargaku nih jalan-jalan, kamu ikut yuk, daripada kamu ngga jelas jalan-jalan sendirian” seakan-akan yang meneleponnya punya indera keenam karena bisa menebak yang sedang ia lakukan saat ini. Belum sempat ia menjawab, wanita itu mengeluarkan suaranya lagi “kamu dimana ? Aku jemput ya ?”
            “Aku di Tanah Lot, Fir”
            “Oke, kita jemput kamu, jangan kemana-mana!” perintah Fira dengan nada seakan-akan mengancam pada anak kecil berumur lima tahun yang membuat Shena tertawa.
            “Hahaha iya iya” akhirnya sambungan telepon terputus.
***
            Shena berusaha mengendalikan perasaannya dan sistem pernapasannya yang tiba-tiba seperti tersendat buah kedondong dengan duri-durinya. Bola matanya menyiratkan kekagetan dan kekecewaan yang mendalam. Langkah kakinya terhenti tak mau lagi melangkah maju menghampir sahabatnya dan keluarga bahagianya itu. Ia seakan-akan ingin memutarkan tubuhnya lalu lari sekencang-kencangnya menghidari sosok yang sekarang berdiri dihadapannya dengan tatapan dingin serupa dengannya. Tapi, tangan lembut sahabatnya itu lebih cepat menyergah tangannya yang kaku dan menariknya masuk ke dalam keluarga bahagia itu. Mereka bahagia tapi Shena tidak.
            Selama perjalanan di dalam mobil, Shena hanya asik dengan alam pikirnya. Sama dengan lelaki yang tengah mengemudikan mobil itu. Pikirannya melayang-layang ke dimensi waktu delapan tahun yang lalu. Hanya suara riuh Jihan dan Angga yang terdengar, sesekali Fira mengeluarkan suara tawanya karena tingkah kedua anaknya itu, dan Shena pun menimpali seadanya, lalu kembali ke dunianya. Seakan-akan jutaan kalimat datang menarik-nariknya dan melilit tubuh yang rapuh itu, menanyakan sosok lelaki yang tengah mengemudikan stir mobil itu.
***
            Jam dindingnya telah berdenting dua belas kali yang artinya udah tengah malam, tetapi, matanya juga belum menyiratkan tanda-tanda ia harus memejamkan mata untuk beristirahat. Sejak dua jam yang lalu ia mengirimkan pesan singkat permintaan maaf pada sahabatnya karena ia meninggalkan keluarga bahagia itu tanpa pemberitahuan. Ia tak tahan lama-lama berhadapan dengan sosok lelaki itu yang sangat mirip dengan masa lalunya, Dimas. Bulat matanya yang berwarna hitam pekat dan lesung pipinya yang dulu mampu mengacak-acak hatinya. Hanya bedanya lelaki itu kini lebih tegap, bahunya bidang, dan memiliki kumis tipis serta dia memakai kaca mata berwarna senada dengan kaca mata istrinya. Ya mereka memang cocok, tak mungkin ia adalah Dimas.
            Tapi, lagi-lagi perasaannya tak bisa ia bohongi. Ada sesuatu yang sangat dalam dipalung hatinya yang mengatakan kalau lelaki itu adalah Dimas. Lelaki yang membuatnya menunggu selama delapan tahun tanpa kepastian. Lelaki yang menghadirkan pelangi ditengah senja dan mengungkapkan perasaannya dengan caranya yang begitu memesona dan lelaki itu juga yang menorehkan luka yang teramat dalam hingga luka itu belum juga kering hingga saat ini. Lelaki itu juga yang mengikatnya pada waktu yang ia harapkan untuk datang dan bersatu dengan jiwanya lagi.
***
            Dua hari sebelum keberangkatannya, tiba-tiba ia mendapati pesan singkat dari nomor yang tak ia kenali. “Kareen, aku tunggu kamu di Jimbaran jam empat sore ya …” Seketika peredaran darahnya mengalir lebih cepat dan jantungnya seakan mencelos keluar. Kakinya lemas, tak dapat menopang tubuhnya yang mungil itu, tak lama tubuhnya jatuh ke atas tempat tidurnya, matanya masih menerawang, kosong seperti tak berkehidupan. Perlahan air mata itu mengalir juga, membasahi pipinya yang cabi, seperti mengeluarkan luka-luka lama yang selama ini mengendap dalam hati dan otaknya. Air mata itu terus mengalir dan terhenti ketika jam dindingnya berdenting empat kali. Teringat akan pesan yang tadi ia terimanya, dengan cepat ia menghapus air matanya dan berusaha menghapus jejak air mata diwajahnya.
***
            Sekuat mungkin ia mengatur perasaannya, berusaha menahan rasa rindunya pada lelaki ini. Dari jauh ia melihat seorang lelaki bertubuh tegap membelakanginya, menghadap ke pantai lepas. Ia terlihat begitu menarik dengan kemeja biru laut yang digulung sesikunya. Senyum pun mengembang diwajah Shena.
            “Dimas” ucap Shena pada lelaki itu. Dan lelaki itu pun mengalihkan pandangannya ke arah Shena. “Rian ? Maaf, aku kira kamu teman aku” ucap Shena tak enak pada suami sahabatnya itu.
            “Aku Dimas, Kareen.” Akhirnya lelaki itu membuka suaranya. Shena pun tersentak, tanpa sadar kakinya mundur perlahan. Tapi lengan kokoh itu lebih cepat dan lebih kuat untuk menahannya agar tidak pergi. Shena hanya terdiam, tubuhnya kaku. Batinnya pilu. Pikirannya menerawang jauh, menyesali apa yang ia hadapi saat ini.
            “Maafin aku Kareen …” yang diajak bicara hanya terdiam dan menunduk seakan-akan ada sesuatu yang jatuh. Ya hatinya jatuh tepat didepan kaki lelaki itu. “Aku gak tahu kalau selama ini kamu nungguin aku, aku gak tahu kalau selama ini yang Fira certain itu kamu, Shena sahabatnya dan Kareen orang yang selalu ada dihatiku. Aku juga gak nyangka kita bakal ketemu lagi dengan suasana yang seperti ini. “
            “Dimas … yang bodoh aku, dulu aku gak sempat ngenalin kamu ke Fira dan waktu pernikahan kalian aku juga gak datang, dan aku juga gak sadar kalau yang Fira ceritain tentang suaminya, Rian. Rian itu kamu. Shena itu aku. Entah, aku gak ngerti sama semuanya Dim” mutiara itu akhirnya berhamburan mengaliri pipi cabinya Shena yang dulu sering dicubit gemas oleh Dimas. Kini Dimas, lelaki yang ia tunggu selama delapan tahun ada dihadapannya, memenuhi janjinya. Tapi kali ini ia datang bukan untuk bersatu dengan Shena, ia telah menjadi milik orang lain, yaitu sahabatnya sendiri.  Hancur sudah benteng pertahanan yang selama ini Shena bangun dengan kekuatan seadanya. Dimas gak akan pernah ia raih dari dulu, saat ini dan sampai kapanpun.
***
            Setelah kejadian sore tadi, Shena mengurung diri di kamar hotelnya. Mungkin air matanya hampir kering.  Ia benar-benar tak menyangka, lelaki yang ia cintai dan ia tunggu selama ini sudah menjadi milik sahabatnya sendiri, orang terdekatnya, tempatnya berbagi cerita.  Kembali ia menenggelamkan wajahnya ke dalam bantalnya. Mengerang sekencang-kencangnya. Berusaha mengeluarkan semua yang menjadi bebannya saat ini. Tapi hanya lewat air mata ia dapat merasa, ia dapat menjelaskan ketika kata tak dapat lagi mewakili.
            Esoknya, ia mendapati pesan singkat dari sahabatnya, Fira. Fira meminta ia untuk menemuinya sebelum kepulangannya ke Paris. Sungguh, Shena tak tahu apa yang harus ia lakukan, menemui  Fira atau mengabaikannya. Tapi, Fira itu sahabatnya dan dia sama sekali tak punya andil dalam masalah ini. Bibir Shena bergetar, tangannya kaku dan lidahnya kelu. Ia benar-benar bingung, lagi-lagi ia menjelaskan lewat air mata. “Kemana Reno ?” desahnya dalam hati. “Mengapa ia tiba-tiba menghilang ketika ia butuh pundak untuk berbagi”.  Tangisnya semakin menjadi teringat betapa bodohnya ia selama ini, menunggu seseorang yang tak pasti dan mengabaikan seseorang yang ingin melindunginya.
***
            Setelah menemui Fira, hatinya lega namun tetap ada yang mengganjal. Ternyata Dimas memenuhi janjinya tidak mengatakan apapun tentang mereka ke Fira. Dan kini masalahnya tinggal berdamai dengan dirinya sendiri dan hatinya, termasuk memberi celah untuk Reno.
            “Shenaaaa …” suara berat dan tak terasa asing ditelinganya itu memanggilnya, seketika ia memutarkan lehernya pada sosok itu. Di kejauhan sosok lelaki bertubuh tegap dengan pakaian casual menghampirinya dengan seulas senyum dan sesaat hatinya bergetar. Hal yang pernah ia rasakan delapan tahun lalu terhadap Dimas.
            “Reno” ucap Shena pada lelaki itu. Tiba-tiba lututnya terasa lemas. Tak menyangka Reno tidak main-main dengan ucapannya untuk menjemput Shena di Bali, 29 hari yang lalu. Sebelum ia memutuskan berlibur ke Bali.
            “Hai Shen” dengan senyum tertampannya lelaki itu tiba-tiba berlutut dan mengutarakan perasaannya. “Je t’aime, Shena Kareenata.” kemudian ia melingkarkan cincin di jari manis Shena dan tangan Shena pun menarik Reno berdiri dan ia mengatakan hal yang sama dengan seulas senyum. “Je t’aime, Reno Pratama. Je vais essayer”

pernah dimuat diblog @KlubBuku :)


syifamaudiyah:)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus paaaaahhhh. Gua sukaaaaaa. Tapi gua gak suka ama nama2 tokohnya -_- haha

maudiyahs mengatakan...

apalah arti sebuah nama :p ini cerpen dengan alasan wahaha