Jumat, 10 Januari 2014

Menghantar Rindu Ke Tengah Laut



Untuk kamu, yang mungkin sedang terombang ambing dalam gemuruhnya ombak, yang mungkin sedang terselimuti angin laut yang menusuk tulang, termasuk untuk kamu yang sedang mengejar impianmu

Kisah memang tak selalu berisi tentang bahagia dan luka, ada waktu dimana kita duduk terdiam, saling menatap tapi tidak saling mengikat, ada perasaan dimana kamu tak pasti berada di rasa apa, terperangkap diantara dua dunia yang berbeda, menjadikannya abu-abu. Oh tunggu...sudah pantaskah ini disebut kisah? Kenangan ini masih terlalu mudah terhitung jari, Sayang. Tapi nyatanya kita bukan menghitung, mencari kuantitas, melainkan merasa, mencari rasa yang kapanpun bisa membuat desir halus ditubuh.

Bagaimana kamu disana? Aku disini masih tergugu menatap lurus ke tempat terakhir kapal besar yang membawa tubuh tegapmu berangkat, ke tengah laut. Entah apa yang ingin kamu, kalian cari. Sudah berapa detik ya sejak kapal itu mengepakkan layar lebarnya membunuh angin untuk menggerakkan kapalnya? Atau sudah satu menit? Satu jam? Sejak kepergianmu bersama angin laut yang bisa membuat kulitmu lebih gelap karena sentuhannya. Namun nyatanya lebih dari itu. Karena justru sepertinya aku sudah mulai terbiasa duduk disini, dipinggir dermaga tempat kapalmu kemarin menarik kembali jangkarnya. Seakan ini bukan tempat yang asing lagi bagiku seperti pertama kali kakiku menapak diantara pasir-pasir putih ini.

Kini, aku tidak lagi sendirian. Aku ditemani burung-burung yang kebetulan sedang lewat karena waktu pulang mereka yang sudah datang. Awalnya mereka menatapku curiga serta seakan memojokkanku, tapi kini mereka sahabatku. Mereka sampai detik ini masih setia mendengarkan cerita dan impianku bersamamu. Dan mereka tak pernah bosan mendengarkan kalimatku yang selalu terulang.

Untuk kamu yang ku harap tengah menatap anggota keluarga burung-burung yang tengah berdialog denganku dari tempatmu sana. Ini sudah ke-356 hari sejak air mataku juga ikut tumpah di pinggir sandaran kapalmu dan berlari mengejarmu namun sia.

Untuk kamu yang ku harap tengah tersenyum karena kepakan sayap-sayap burung-burung yang melintasi langitmu. Bagaimana langitmu saat ini? Cerahkah? Atau justru mendung? Kalau jawabanmu yang terakhir, berarti langit kita sama. Sama seperti halnya ruang yang terletak dalam dadaku yang kini tengah kosong, kehilangan (sementara) komandan utamanya. Layaknya tanaman yang sudah lama tak terkena air hujan; layu bahkan bisa mati. Namun sepertinya hatiku takkan mati, karena sang perawatnya sedang pergi (sesaat) bukan selamanya.

Untuk kamu yang ku tebak sedang menatap lurus ke depan, mengamati debur ombak yang sesekali membuat cipratan kecil diwajah tegasmu. Aku ingin bertanya "kapan kamu pulang?". Aku malu pada burung-burung yang selalu menanyakan kehadiranmu. Suatu saat mereka pernah meledekiku, katanya "kami saja pulang, masa dia tidak pulang?" ucap mereka sembari terkekeh jahil. Tapi sejujurnya, hati aku pun mengiyakan perkataan mereka.

Harus berapa tetes air mata yang mesti ku keluarkan lagi untuk mengejarmu bersama asinnya air laut? Harus berapa kali 356 hari lagi yang ku habiskan duduk bersama pasir putih dan sesekali dikolongi burung-burung yang ingin pulang; rindu yang tersayang katanya? Sebelum aku lelah dan mati karena terus menghirup-hirup kerinduan (kosong) yang mengharapkan ada darimu, pulanglah. Kembalilah, kesini. Kehatiku. Rumahmu. Rumah kita.


Dari seseorang yang tak pernah (belum) lelah menantikan jangkar kapalmu kembali tertancap didasar laut yang pertama kalinya kau memelukku. Pelukan pertama dan terakhirkah? Entah..

Rabu, 08 Januari 2014

Tidak ada komentar: