Untuk kamu, yang mungkin sedang terombang ambing dalam
gemuruhnya ombak, yang mungkin sedang terselimuti angin laut yang menusuk
tulang, termasuk untuk kamu yang sedang mengejar impianmu
Kisah memang tak selalu berisi tentang bahagia dan luka, ada
waktu dimana kita duduk terdiam, saling menatap tapi tidak saling mengikat, ada
perasaan dimana kamu tak pasti berada di rasa apa, terperangkap diantara dua
dunia yang berbeda, menjadikannya abu-abu. Oh tunggu...sudah pantaskah ini
disebut kisah? Kenangan ini masih terlalu mudah terhitung jari, Sayang. Tapi
nyatanya kita bukan menghitung, mencari kuantitas, melainkan merasa, mencari
rasa yang kapanpun bisa membuat desir halus ditubuh.
Bagaimana kamu disana? Aku disini masih tergugu menatap
lurus ke tempat terakhir kapal besar yang membawa tubuh tegapmu berangkat, ke
tengah laut. Entah apa yang ingin kamu, kalian cari. Sudah berapa detik ya
sejak kapal itu mengepakkan layar lebarnya membunuh angin untuk menggerakkan
kapalnya? Atau sudah satu menit? Satu jam? Sejak kepergianmu bersama angin laut
yang bisa membuat kulitmu lebih gelap karena sentuhannya. Namun nyatanya lebih
dari itu. Karena justru sepertinya aku sudah mulai terbiasa duduk disini,
dipinggir dermaga tempat kapalmu kemarin menarik kembali jangkarnya. Seakan ini
bukan tempat yang asing lagi bagiku seperti pertama kali kakiku menapak
diantara pasir-pasir putih ini.
Kini, aku tidak lagi sendirian. Aku ditemani burung-burung
yang kebetulan sedang lewat karena waktu pulang mereka yang sudah datang.
Awalnya mereka menatapku curiga serta seakan memojokkanku, tapi kini mereka
sahabatku. Mereka sampai detik ini masih setia mendengarkan cerita dan impianku
bersamamu. Dan mereka tak pernah bosan mendengarkan kalimatku yang selalu
terulang.
Untuk kamu yang ku harap tengah menatap anggota keluarga
burung-burung yang tengah berdialog denganku dari tempatmu sana. Ini sudah
ke-356 hari sejak air mataku juga ikut tumpah di pinggir sandaran kapalmu dan
berlari mengejarmu namun sia.
Untuk kamu yang ku harap tengah tersenyum karena kepakan
sayap-sayap burung-burung yang melintasi langitmu. Bagaimana langitmu saat ini?
Cerahkah? Atau justru mendung? Kalau jawabanmu yang terakhir, berarti langit
kita sama. Sama seperti halnya ruang yang terletak dalam dadaku yang kini
tengah kosong, kehilangan (sementara) komandan utamanya. Layaknya tanaman yang
sudah lama tak terkena air hujan; layu bahkan bisa mati. Namun sepertinya
hatiku takkan mati, karena sang perawatnya sedang pergi (sesaat) bukan
selamanya.
Untuk kamu yang ku tebak sedang menatap lurus ke depan,
mengamati debur ombak yang sesekali membuat cipratan kecil diwajah tegasmu. Aku
ingin bertanya "kapan kamu pulang?". Aku malu pada burung-burung yang
selalu menanyakan kehadiranmu. Suatu saat mereka pernah meledekiku, katanya
"kami saja pulang, masa dia tidak pulang?" ucap mereka sembari
terkekeh jahil. Tapi sejujurnya, hati aku pun mengiyakan perkataan mereka.
Harus berapa tetes air mata yang mesti ku keluarkan lagi
untuk mengejarmu bersama asinnya air laut? Harus berapa kali 356 hari lagi yang
ku habiskan duduk bersama pasir putih dan sesekali dikolongi burung-burung yang
ingin pulang; rindu yang tersayang katanya? Sebelum aku lelah dan mati karena
terus menghirup-hirup kerinduan (kosong) yang mengharapkan ada darimu,
pulanglah. Kembalilah, kesini. Kehatiku. Rumahmu. Rumah kita.
Dari seseorang yang tak pernah (belum) lelah menantikan
jangkar kapalmu kembali tertancap didasar laut yang pertama kalinya kau
memelukku. Pelukan pertama dan terakhirkah? Entah..
Rabu, 08 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar