Ikhlas. Satu kata bermakna tanpa pelafalan. Menjadikan kata
itu nyata hanya dengan tindakan.
Sedari tadi dada saya terasa terguncang-guncang, serasa
dikoyak oleh kenangan yang sekarang menjadi pahit. Menghirup bau tanah basah
diatas kota ini selalu berhasil mengingatkan saya tentang dia yang coba saya
lupakan. Kota sejuta pesona, katanya. Tempat pahlawan dan bidadari cantiknya
tinggal, yang selalu dia rindukan dulu, ketika kami masih bisa saling menatap
dan bercerita segala hal dengan tawa atau hentakan. Kini mata saya terus
mengarah ke segala sudut mencari-cari sosoknya yang siapa tahu ada atau sedang
melintas dan kemudian beradu pandang dengan saya lalu kami akan berbicara
dengan henyak kembali. Oh..terlalu dalam saya bermimpi disiang yang mataharinya
tengah ditutupi awan berair. Saya seperti mencari jarum dalam jerami disini.
Iya saya tahu bahwa disini adanya, tapi tak tahu dibelahan mana dia tengah
merebahkan tubuh tegapnya, berselimut diri menciptakan kehangatan sendiri.
Seketika benak saya terasa terhujani satu kata menusuk.
(Ikhlas). Saya pikir selama ini saya sudah mengikhlaskan dirinya yang
sebelumnya (memang belum) pernah saya miliki secara utuh sebagai kekasih.
Menyedihkan. Iya. Ah tapi abaikan. Selama ini saya hanya mencoba melepaskan, melepaskan
semua cerita tentangnya. Saya hanya pergi dari kehidupannya yang padahal ada
saya pun tak bermasalah untuk kehidupannya. Namun nyatanya emosi saya yang
membuat saya sanggup melakukan itu. Saya terlalu beremosi dan berambisi untuk
menunjukkan bahwa diri saya mampu tanpa dia yang (dulu) bisa membuat rona merah
dipipi. Saya terlalu gengsi untuk jujur pada diri sendiri kalau nyatanya akan
saya lagi yang kalah oleh permainan dan perjanjian yang saya buat sendiri
(tanpa persetujuan dirinya). Haha lucu ya, saya terlalu ambisius untuk bisa
mematahkan anggapan dan keangkuhan dirinya terhadap saya yang memiliki rasa
berbeda untuknya. Saya mencoba mematahkan apa yang akan patah dengan sendirinya
tanpa saya buat-buat. Saya terlalu egois untuk selalu diberi tatapan
merendahkan dari mata yang juga saya kagumi akan tulusnya ketika tersenyum.
Saya hanya mementingkan anggapannya, bukan logika. Terkadang, perasaan tak
selalu bisa diandalkan, karena hanya menimbulkan kesakitan sendiri akhirnya.
Akhirnya, saya juga merasakan lelah karena berlari sendirian
dari hal yang sebenarnya tak pernah mengejar. Saya hanya berlari dari ruang
kosong yang tak tahu kapan akan terhentinya. Namun kini, saya mencoba untuk
berhenti, ada atau tidak ada cahaya pemandu. Saya akan mulai perjalanan baru,
(masih denganmu), tanpa menghindar. Lebih tepatnya, mencoba untuk tak
menghindar. Karena memang ternyata semakin saya menghindar, semakin saya coba
pergi jauh dari dirinya, tentangnya, semakin membuat hati saya bertanya-tanya
"apakah dia merindukan saya". Haha lagi-lagi saya terlalu bodoh
karena telah berpikir seperti itu. Padahal jelas-jelas disampingnya ada seorang
perempuan cantik yang hampir selalu tak pernah luput dari otak dan hatinya.
Detik ini, saya coba kembali, kembali pulang pada kisah saya
yang dulu. Bukan kembali tuk bersahabat dengan rasa sakit. Tapi kembali tuk
berdamai dengannya, dengan diri yang sudah lama saya tinggali. Biarlah tertawa
bersama rasa sakit yang terus menggores panjang, namun akhirnya tawa itu yang
akan mengobati lukanya.
Hai, selamat datang (kembali) kamu; diri saya. Semoga tak
ada lagi bilur-bilur dihati.
12 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar