Selasa, 14 Januari 2014

Meng-ikhlas-kan-(?)



Ikhlas. Satu kata bermakna tanpa pelafalan. Menjadikan kata itu nyata hanya dengan tindakan.

Sedari tadi dada saya terasa terguncang-guncang, serasa dikoyak oleh kenangan yang sekarang menjadi pahit. Menghirup bau tanah basah diatas kota ini selalu berhasil mengingatkan saya tentang dia yang coba saya lupakan. Kota sejuta pesona, katanya. Tempat pahlawan dan bidadari cantiknya tinggal, yang selalu dia rindukan dulu, ketika kami masih bisa saling menatap dan bercerita segala hal dengan tawa atau hentakan. Kini mata saya terus mengarah ke segala sudut mencari-cari sosoknya yang siapa tahu ada atau sedang melintas dan kemudian beradu pandang dengan saya lalu kami akan berbicara dengan henyak kembali. Oh..terlalu dalam saya bermimpi disiang yang mataharinya tengah ditutupi awan berair. Saya seperti mencari jarum dalam jerami disini. Iya saya tahu bahwa disini adanya, tapi tak tahu dibelahan mana dia tengah merebahkan tubuh tegapnya, berselimut diri menciptakan kehangatan sendiri.

Seketika benak saya terasa terhujani satu kata menusuk. (Ikhlas). Saya pikir selama ini saya sudah mengikhlaskan dirinya yang sebelumnya (memang belum) pernah saya miliki secara utuh sebagai kekasih. Menyedihkan. Iya. Ah tapi abaikan. Selama ini saya hanya mencoba melepaskan, melepaskan semua cerita tentangnya. Saya hanya pergi dari kehidupannya yang padahal ada saya pun tak bermasalah untuk kehidupannya. Namun nyatanya emosi saya yang membuat saya sanggup melakukan itu. Saya terlalu beremosi dan berambisi untuk menunjukkan bahwa diri saya mampu tanpa dia yang (dulu) bisa membuat rona merah dipipi. Saya terlalu gengsi untuk jujur pada diri sendiri kalau nyatanya akan saya lagi yang kalah oleh permainan dan perjanjian yang saya buat sendiri (tanpa persetujuan dirinya). Haha lucu ya, saya terlalu ambisius untuk bisa mematahkan anggapan dan keangkuhan dirinya terhadap saya yang memiliki rasa berbeda untuknya. Saya mencoba mematahkan apa yang akan patah dengan sendirinya tanpa saya buat-buat. Saya terlalu egois untuk selalu diberi tatapan merendahkan dari mata yang juga saya kagumi akan tulusnya ketika tersenyum. Saya hanya mementingkan anggapannya, bukan logika. Terkadang, perasaan tak selalu bisa diandalkan, karena hanya menimbulkan kesakitan sendiri akhirnya.

Akhirnya, saya juga merasakan lelah karena berlari sendirian dari hal yang sebenarnya tak pernah mengejar. Saya hanya berlari dari ruang kosong yang tak tahu kapan akan terhentinya. Namun kini, saya mencoba untuk berhenti, ada atau tidak ada cahaya pemandu. Saya akan mulai perjalanan baru, (masih denganmu), tanpa menghindar. Lebih tepatnya, mencoba untuk tak menghindar. Karena memang ternyata semakin saya menghindar, semakin saya coba pergi jauh dari dirinya, tentangnya, semakin membuat hati saya bertanya-tanya "apakah dia merindukan saya". Haha lagi-lagi saya terlalu bodoh karena telah berpikir seperti itu. Padahal jelas-jelas disampingnya ada seorang perempuan cantik yang hampir selalu tak pernah luput dari otak dan hatinya.

Detik ini, saya coba kembali, kembali pulang pada kisah saya yang dulu. Bukan kembali tuk bersahabat dengan rasa sakit. Tapi kembali tuk berdamai dengannya, dengan diri yang sudah lama saya tinggali. Biarlah tertawa bersama rasa sakit yang terus menggores panjang, namun akhirnya tawa itu yang akan mengobati lukanya.

Hai, selamat datang (kembali) kamu; diri saya. Semoga tak ada lagi bilur-bilur dihati.

12 Januari 2014

Tidak ada komentar: