Untuk kamu yang mungkin sedang termangu ditempatmu menunggu
ku pulang
Detik, menit, jam dan hari-hari pun terus berlari. Berlari
memisahkan kita yang semakin hari semakin jauh. Tapi berjanjilah untukku, hanya
jarak yang semakin jauh, jangan hati kita. Ini sudah hari ke-356 hari sejak
pertama kalinya ku lambaikan tangan dengan senyum kecut yang menyiksa diriku
sendiri. Memaksa diri ku untuk menyunggingkan senyum dan tetap berdiri menatap
dirimu yang semakin jauh ku tinggali. Tahukah? Rasanya ketika itu aku ingin
berlari kembali merengkuhmu lagi dan tak ingin ku lepas. Tetapi ada magnet
dibelakang diriku yang menarikku untuk jangan berlari, itu impianku, Sayang.
Terima kasih karena kamu juga mencintai impianku.
Sekarang aku berdiri di ujung kapal yang selama ini menjadi
gambar-gambar di dinding kamarku sewaktu kecilku dulu. Dari sini ku sedang
menatap langit, berharap ada wajahmu disana. Tapi nyatanya langitku sedang
mendung, Sayang. Bagaimana langitmu? Cerahkah? Atau mendung sama sepertiku.
Burung-burung kini berterbangan dengan rapinya menuju kembali ke rumahnya.
Sekali dua kali dia menoleh ke arahku, memicingkan matanya seakan mengolokku
yang selalu menatap jalan pulangnya karena ku mencari-cari wajahmu yang tak
pernah ku lupa senyum yang mampu membuatku terpaku, tak bisa bergerak;
mematung, namun kemudian aku ikut tersenyum bersamamu.
Suatu saat, keluarga burung-burung itu mendekatiku, nyatanya
mereka ingin bertanya soal diriku yang terus menatap jalan pulangnya. Aku pun
malu pada mereka. Ku katakan bahwa aku juga merindukan rumahku yang sudah lama
ku tinggali. Rumahku yang sama seperti rumahku, membuatku nyaman, aman, dan
selalu tersenyum. Namun bedanya, ketika ingin memasuki rumahku yang ini, degup
jantungku selalu berirama tak menentu dan peredaran darahku menjadi lebih
cepat, yang terkadang membuatku sesak napas, tercekat tak bisa mengeluarkan
suara. Yang akhirnya dalam rumahku ini juga sistem tubuhku menjadi normal
kembali, tapi degup jantungku sama, justru semakin cepat dan terus
berlari-larian dengan cepat. Setelah mendengar ceritaku, mereka malah terkekeh.
Seketika hormon adrenalinku langsung memuncak, urat-urat ditangan dan dahiku
melebar, membentuk alurnya dan membuat burung-burung itu yang menertawakan
kisahku, kisah kita menjadi terdiam. Lalu dia kembali pulang.
Dan kini, mereka kembali menghampiriku yang lagi-lagi ketahuan
sedang menatap jalan pulangnya. Tanpa basa-basi mereka berkata "kami saja
pulang, masa kamu tidak?". Dorrr... Rasanya hatiku tertembak busur panah
hingga menembus tulang ruskku. Seketika ingatanku tertuju pada rumahku, kamu.
Ada desir halus pada tubuhku ketika teringat tentangmu yang memang tak pernah
ku lupa. Tak sadar asinnya air laut mengenai wajahku, menyamarkan sesuatu yang
tiba-tiba keluar dari pelupuk mataku. Saat itu juga hatiku mengguncangkan
pertahananku, menggoyahkan rindu yang selama ini ku simpan rapi. Kali ini aku
baru melihat senyuman mereka, burung-burung itu ketika ku menyampaikan
permohonan. "Tolong sampaikan rinduku untuknya, perempuan yang sedang
menantikan ku untuk kembali ke rumah". Kemudian mereka mengangguk dan kembali
terbang ke dunia mereka yang teratur.
Tak perlu berapa kali 356 hari kan terulang. Karena ku akan
pulang. Menuju rumahku; kamu. Tak perlu takut akan pelukan kemarin adalah yang
terakhir. Karena ku kan datang merengkuhmu kembali bersama tubuhku, tak peduli
jantungku akan loncat keluar karena dekat denganmu. Yang ku ingin menyatukan
hati kita untuk terus terpaut, dan tak ada lagi rindu yang menyayat-nyayat
hati, yang mampu menimbulkan goresan panjang. Percayalah, kapal besar ini akan
kembali menjatuhkan jangkarnya ke dasar laut tempat ia pertama kali melihat
kamu, yang ku tahu belakangan ini bahwa ia ternyata merindukanmu juga, namun
rindunya tak lebih besar mengalahiku. Karena aku punya setumpuk rindu yang
ingin ku hantarkan kepadamu, dari tengah laut ini.
Dari seseorang yang akan pulang, pulang ke rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar