Seketika air mata saya menetes begitu saja, mengalir dengan
semaunya, tak peduli betapa jam sudah mengharuskan saya untuk menyusulnya yang
telah terlelap sedari tadi. Ketika menatap air wajahnya, entah kenapa
bayang-bayang semua perlakuan saya terhadapnya menghardik saya, mengguncangkan
emosi saya begitu mudahnya. Maaf, maaf, maaf, mungkin seribu maaf sekalipun
belum cukup untuk menghapus perlakuan ketidakadilan dan ketidakramahan saya
terhadapmu; yang kini terlelap. Maaf, maaf, maaf, saya tahu semua perlakuan
saya sudah melebihi batas, terkadang, bahkan bukan kadang tapi sering, saya
selalu berbicara tinggi denganmu, selalu memarahimu. Entah hanya karena hal
kecil yang bila orang lain lakukan, saya bisa menjelaskannya dengan lembut,
tapi denganmu? Saya selalu membentakmu, membuat sakit hati hingga air matamu
pun tumpah dengan mudahnya. Maaf, maaf, maaf, saya tak pernah menganggapmu
ketika kamu ada. Sejujurnya saya pun tak mengerti akan sikap saya selama ini terhadapmu,
saya ini kenapa? Maaf, maaf, maaf, kalau sikap saya hanya membuat kamu semakin
kecil dan kesepian dalam dunia yang sangat kejam;untukmu yang masih terlalu
muda.
Emosi saya kini semakin tak terkendali. Maaf, maaf, maaf,
dari saya yang selalu tak pernah baik terhadapmu. Selalu membedakanmu. Saya
tahu, pasti perasaanmu sakit. Sakit sangat sangat. Maaf, maaf, maaf, dari saya
yang sama sekali belum dewasa. Maaf, maaf, maaf, dari saya yang tak pernah
memahamimu, yang selalu mengabaikanmu, yang tak peduli akan rasa sakit yang
lebih dalam yang tertanam dalam kalbu murnimu. Maaf, maaf, maaf, dari saya yang
terlalu kelu tuk mengucap satu kata itu terhadapmu. Maaf. Maaf. Maaf. Dari saya
yang selalu tak pernah bisa berlaku lemah lembut terhadapmu seperti ke mereka.
Maaf. Maaf. Maaf. Dari saya yang belum bisa jadi tempat semua cerita hatimu,
cerita rasamu. Maaf.
Maaf. 12 Agustus 2013, Senin 23.58