Kamis, 16 Januari 2014

Oka :)




YTH, Ayah Yang Ku Harap Menjadi Ayahku



Dengan hormat (dan cinta untuk anakmu),

Perkenalkan, aku pria lancang yang mencintai anakmu. Pria ini mungkin tak sehebat Ayah. Tapi jika bicara soal ketulusan, aku berani menantang Ayah.

Mengapa aku mengirim surat ini kepada Ayah, bukannya Ibu? Karena Ayah sangat mirip dengan anakmu yang aku cintai (juga mirip seperti bukit di gurun), hangat, tapi sulit untuk ditaklukkan.


Tidak, aku tidak berniat menyuapmu dengan kata-kata berantakan di secarik kertas ini. Namun bolehkah aku menyuap Ayah dengan ketulusan dan kebahagiaan untuk anakmu?



Ah, maaf, Ayah. Aku memang bukan dari ‘kahyangan’ seperti Ayah. Aku juga bukan calon dewa pengungsi ‘kahyangan’ sana, seperti saingan-sainganku yang mencoba mendekati anakmu juga. Aku berpijak tegap di bumi, diterpa angin, ditusuk dingin. Hanya mencoba terbang, itu yang bisa aku lakukan untuk meraih bidadarimu. Aku tidak tahu pasti cara yang benar, hanya mengikuti apa kata hati.

Aku bukan Sun Go Kong yang bisa seenaknya naik ke kahyangan, apalagi aku bukan Jaka Tarub yang bisa dengan mudah menikahi bidadari. Aku hanya si pungguk, merindukan bulan. Mungkin dalam kisah ini, aku pungguk yang keras kepala dan enggan menyerah. Maaf jika itu menyebalkan.



Ayah, ingatkah saat anakmu berulang tahun? Aku datang magrib-magrib, maaf jika kurang sopan waktu itu. Jantungku sontak rasanya copot ketika aku mengucap salam, sosokmu yang muncul dari jendela. Rupanya Ayah waktu itu sedang bersiap ke masjid.

Itu terakhir kalinya aku mengunjungi ‘kahyangan,’ karena hingga kini aku hanya mencapai hampir ke ‘kahyangan,’ lalu kembali pulang ke bumi. Tapi apa yang tak bisa aku lupakan? Ucapan darimu, “Hati-hati di jalan,” yang membuat aku meleleh dan yakin bahwa tidak mustahil untuk terbang.

Calon kakek dari anak-anakku kelak, percayalah, anakmu mengenal aku. Aku memilihnya bukan karena dia dari ‘kahyangan,’ melainkan karena bisa menerima aku, manusia biasa ini, apa adanya.



Ayah, aku punya satu permintaan, mungkin terdengar seperti sebuah perjanjian. Jika ketulusanku dalam mencintai anakmu kalah darimu, dan jika aku menyakiti bidadari kecilmu, Ayah boleh langsung turun dari ‘kahyangan’ dan spontan menghunjam aku dengan belati kebencian terbesar dari langit.

Ayah, aku gugup ketika menuliskan surat ini. Tubuhku gemetar, mataku berkabut, aku tidak tahan. Kita baru bertemu tiga kali. Maaf jika mengecewakan. Namun kuharap kita diberi kesempatan untuk duduk berdua, berbicara.



Itu saja yang ingin aku sampaikan. Selamat Hari Ayah.

Salam untuk anakmu yang paling cantik.

Tertanda,
Manusia lancang yang ingin menjadi anakmu (juga)


salah satu tulisannya yang kusuka.
http://daraprayoga.com/yth-ayah-yang-kuharap-menjadi-ayahku/

Selasa, 14 Januari 2014

Meng-ikhlas-kan-(?)



Ikhlas. Satu kata bermakna tanpa pelafalan. Menjadikan kata itu nyata hanya dengan tindakan.

Sedari tadi dada saya terasa terguncang-guncang, serasa dikoyak oleh kenangan yang sekarang menjadi pahit. Menghirup bau tanah basah diatas kota ini selalu berhasil mengingatkan saya tentang dia yang coba saya lupakan. Kota sejuta pesona, katanya. Tempat pahlawan dan bidadari cantiknya tinggal, yang selalu dia rindukan dulu, ketika kami masih bisa saling menatap dan bercerita segala hal dengan tawa atau hentakan. Kini mata saya terus mengarah ke segala sudut mencari-cari sosoknya yang siapa tahu ada atau sedang melintas dan kemudian beradu pandang dengan saya lalu kami akan berbicara dengan henyak kembali. Oh..terlalu dalam saya bermimpi disiang yang mataharinya tengah ditutupi awan berair. Saya seperti mencari jarum dalam jerami disini. Iya saya tahu bahwa disini adanya, tapi tak tahu dibelahan mana dia tengah merebahkan tubuh tegapnya, berselimut diri menciptakan kehangatan sendiri.

Seketika benak saya terasa terhujani satu kata menusuk. (Ikhlas). Saya pikir selama ini saya sudah mengikhlaskan dirinya yang sebelumnya (memang belum) pernah saya miliki secara utuh sebagai kekasih. Menyedihkan. Iya. Ah tapi abaikan. Selama ini saya hanya mencoba melepaskan, melepaskan semua cerita tentangnya. Saya hanya pergi dari kehidupannya yang padahal ada saya pun tak bermasalah untuk kehidupannya. Namun nyatanya emosi saya yang membuat saya sanggup melakukan itu. Saya terlalu beremosi dan berambisi untuk menunjukkan bahwa diri saya mampu tanpa dia yang (dulu) bisa membuat rona merah dipipi. Saya terlalu gengsi untuk jujur pada diri sendiri kalau nyatanya akan saya lagi yang kalah oleh permainan dan perjanjian yang saya buat sendiri (tanpa persetujuan dirinya). Haha lucu ya, saya terlalu ambisius untuk bisa mematahkan anggapan dan keangkuhan dirinya terhadap saya yang memiliki rasa berbeda untuknya. Saya mencoba mematahkan apa yang akan patah dengan sendirinya tanpa saya buat-buat. Saya terlalu egois untuk selalu diberi tatapan merendahkan dari mata yang juga saya kagumi akan tulusnya ketika tersenyum. Saya hanya mementingkan anggapannya, bukan logika. Terkadang, perasaan tak selalu bisa diandalkan, karena hanya menimbulkan kesakitan sendiri akhirnya.

Akhirnya, saya juga merasakan lelah karena berlari sendirian dari hal yang sebenarnya tak pernah mengejar. Saya hanya berlari dari ruang kosong yang tak tahu kapan akan terhentinya. Namun kini, saya mencoba untuk berhenti, ada atau tidak ada cahaya pemandu. Saya akan mulai perjalanan baru, (masih denganmu), tanpa menghindar. Lebih tepatnya, mencoba untuk tak menghindar. Karena memang ternyata semakin saya menghindar, semakin saya coba pergi jauh dari dirinya, tentangnya, semakin membuat hati saya bertanya-tanya "apakah dia merindukan saya". Haha lagi-lagi saya terlalu bodoh karena telah berpikir seperti itu. Padahal jelas-jelas disampingnya ada seorang perempuan cantik yang hampir selalu tak pernah luput dari otak dan hatinya.

Detik ini, saya coba kembali, kembali pulang pada kisah saya yang dulu. Bukan kembali tuk bersahabat dengan rasa sakit. Tapi kembali tuk berdamai dengannya, dengan diri yang sudah lama saya tinggali. Biarlah tertawa bersama rasa sakit yang terus menggores panjang, namun akhirnya tawa itu yang akan mengobati lukanya.

Hai, selamat datang (kembali) kamu; diri saya. Semoga tak ada lagi bilur-bilur dihati.

12 Januari 2014

Minggu, 12 Januari 2014

Menghantar Rindu Dari Tengah Laut



Untuk kamu yang mungkin sedang termangu ditempatmu menunggu ku pulang

Detik, menit, jam dan hari-hari pun terus berlari. Berlari memisahkan kita yang semakin hari semakin jauh. Tapi berjanjilah untukku, hanya jarak yang semakin jauh, jangan hati kita. Ini sudah hari ke-356 hari sejak pertama kalinya ku lambaikan tangan dengan senyum kecut yang menyiksa diriku sendiri. Memaksa diri ku untuk menyunggingkan senyum dan tetap berdiri menatap dirimu yang semakin jauh ku tinggali. Tahukah? Rasanya ketika itu aku ingin berlari kembali merengkuhmu lagi dan tak ingin ku lepas. Tetapi ada magnet dibelakang diriku yang menarikku untuk jangan berlari, itu impianku, Sayang. Terima kasih karena kamu juga mencintai impianku.

Sekarang aku berdiri di ujung kapal yang selama ini menjadi gambar-gambar di dinding kamarku sewaktu kecilku dulu. Dari sini ku sedang menatap langit, berharap ada wajahmu disana. Tapi nyatanya langitku sedang mendung, Sayang. Bagaimana langitmu? Cerahkah? Atau mendung sama sepertiku. Burung-burung kini berterbangan dengan rapinya menuju kembali ke rumahnya. Sekali dua kali dia menoleh ke arahku, memicingkan matanya seakan mengolokku yang selalu menatap jalan pulangnya karena ku mencari-cari wajahmu yang tak pernah ku lupa senyum yang mampu membuatku terpaku, tak bisa bergerak; mematung, namun kemudian aku ikut tersenyum bersamamu.

Suatu saat, keluarga burung-burung itu mendekatiku, nyatanya mereka ingin bertanya soal diriku yang terus menatap jalan pulangnya. Aku pun malu pada mereka. Ku katakan bahwa aku juga merindukan rumahku yang sudah lama ku tinggali. Rumahku yang sama seperti rumahku, membuatku nyaman, aman, dan selalu tersenyum. Namun bedanya, ketika ingin memasuki rumahku yang ini, degup jantungku selalu berirama tak menentu dan peredaran darahku menjadi lebih cepat, yang terkadang membuatku sesak napas, tercekat tak bisa mengeluarkan suara. Yang akhirnya dalam rumahku ini juga sistem tubuhku menjadi normal kembali, tapi degup jantungku sama, justru semakin cepat dan terus berlari-larian dengan cepat. Setelah mendengar ceritaku, mereka malah terkekeh. Seketika hormon adrenalinku langsung memuncak, urat-urat ditangan dan dahiku melebar, membentuk alurnya dan membuat burung-burung itu yang menertawakan kisahku, kisah kita menjadi terdiam. Lalu dia kembali pulang.

Dan kini, mereka kembali menghampiriku yang lagi-lagi ketahuan sedang menatap jalan pulangnya. Tanpa basa-basi mereka berkata "kami saja pulang, masa kamu tidak?". Dorrr... Rasanya hatiku tertembak busur panah hingga menembus tulang ruskku. Seketika ingatanku tertuju pada rumahku, kamu. Ada desir halus pada tubuhku ketika teringat tentangmu yang memang tak pernah ku lupa. Tak sadar asinnya air laut mengenai wajahku, menyamarkan sesuatu yang tiba-tiba keluar dari pelupuk mataku. Saat itu juga hatiku mengguncangkan pertahananku, menggoyahkan rindu yang selama ini ku simpan rapi. Kali ini aku baru melihat senyuman mereka, burung-burung itu ketika ku menyampaikan permohonan. "Tolong sampaikan rinduku untuknya, perempuan yang sedang menantikan ku untuk kembali ke rumah". Kemudian mereka mengangguk dan kembali terbang ke dunia mereka yang teratur.

Tak perlu berapa kali 356 hari kan terulang. Karena ku akan pulang. Menuju rumahku; kamu. Tak perlu takut akan pelukan kemarin adalah yang terakhir. Karena ku kan datang merengkuhmu kembali bersama tubuhku, tak peduli jantungku akan loncat keluar karena dekat denganmu. Yang ku ingin menyatukan hati kita untuk terus terpaut, dan tak ada lagi rindu yang menyayat-nyayat hati, yang mampu menimbulkan goresan panjang. Percayalah, kapal besar ini akan kembali menjatuhkan jangkarnya ke dasar laut tempat ia pertama kali melihat kamu, yang ku tahu belakangan ini bahwa ia ternyata merindukanmu juga, namun rindunya tak lebih besar mengalahiku. Karena aku punya setumpuk rindu yang ingin ku hantarkan kepadamu, dari tengah laut ini.

Dari seseorang yang akan pulang, pulang ke rumah.

Jumat, 10 Januari 2014

Menghantar Rindu Ke Tengah Laut



Untuk kamu, yang mungkin sedang terombang ambing dalam gemuruhnya ombak, yang mungkin sedang terselimuti angin laut yang menusuk tulang, termasuk untuk kamu yang sedang mengejar impianmu

Kisah memang tak selalu berisi tentang bahagia dan luka, ada waktu dimana kita duduk terdiam, saling menatap tapi tidak saling mengikat, ada perasaan dimana kamu tak pasti berada di rasa apa, terperangkap diantara dua dunia yang berbeda, menjadikannya abu-abu. Oh tunggu...sudah pantaskah ini disebut kisah? Kenangan ini masih terlalu mudah terhitung jari, Sayang. Tapi nyatanya kita bukan menghitung, mencari kuantitas, melainkan merasa, mencari rasa yang kapanpun bisa membuat desir halus ditubuh.

Bagaimana kamu disana? Aku disini masih tergugu menatap lurus ke tempat terakhir kapal besar yang membawa tubuh tegapmu berangkat, ke tengah laut. Entah apa yang ingin kamu, kalian cari. Sudah berapa detik ya sejak kapal itu mengepakkan layar lebarnya membunuh angin untuk menggerakkan kapalnya? Atau sudah satu menit? Satu jam? Sejak kepergianmu bersama angin laut yang bisa membuat kulitmu lebih gelap karena sentuhannya. Namun nyatanya lebih dari itu. Karena justru sepertinya aku sudah mulai terbiasa duduk disini, dipinggir dermaga tempat kapalmu kemarin menarik kembali jangkarnya. Seakan ini bukan tempat yang asing lagi bagiku seperti pertama kali kakiku menapak diantara pasir-pasir putih ini.

Kini, aku tidak lagi sendirian. Aku ditemani burung-burung yang kebetulan sedang lewat karena waktu pulang mereka yang sudah datang. Awalnya mereka menatapku curiga serta seakan memojokkanku, tapi kini mereka sahabatku. Mereka sampai detik ini masih setia mendengarkan cerita dan impianku bersamamu. Dan mereka tak pernah bosan mendengarkan kalimatku yang selalu terulang.

Untuk kamu yang ku harap tengah menatap anggota keluarga burung-burung yang tengah berdialog denganku dari tempatmu sana. Ini sudah ke-356 hari sejak air mataku juga ikut tumpah di pinggir sandaran kapalmu dan berlari mengejarmu namun sia.

Untuk kamu yang ku harap tengah tersenyum karena kepakan sayap-sayap burung-burung yang melintasi langitmu. Bagaimana langitmu saat ini? Cerahkah? Atau justru mendung? Kalau jawabanmu yang terakhir, berarti langit kita sama. Sama seperti halnya ruang yang terletak dalam dadaku yang kini tengah kosong, kehilangan (sementara) komandan utamanya. Layaknya tanaman yang sudah lama tak terkena air hujan; layu bahkan bisa mati. Namun sepertinya hatiku takkan mati, karena sang perawatnya sedang pergi (sesaat) bukan selamanya.

Untuk kamu yang ku tebak sedang menatap lurus ke depan, mengamati debur ombak yang sesekali membuat cipratan kecil diwajah tegasmu. Aku ingin bertanya "kapan kamu pulang?". Aku malu pada burung-burung yang selalu menanyakan kehadiranmu. Suatu saat mereka pernah meledekiku, katanya "kami saja pulang, masa dia tidak pulang?" ucap mereka sembari terkekeh jahil. Tapi sejujurnya, hati aku pun mengiyakan perkataan mereka.

Harus berapa tetes air mata yang mesti ku keluarkan lagi untuk mengejarmu bersama asinnya air laut? Harus berapa kali 356 hari lagi yang ku habiskan duduk bersama pasir putih dan sesekali dikolongi burung-burung yang ingin pulang; rindu yang tersayang katanya? Sebelum aku lelah dan mati karena terus menghirup-hirup kerinduan (kosong) yang mengharapkan ada darimu, pulanglah. Kembalilah, kesini. Kehatiku. Rumahmu. Rumah kita.


Dari seseorang yang tak pernah (belum) lelah menantikan jangkar kapalmu kembali tertancap didasar laut yang pertama kalinya kau memelukku. Pelukan pertama dan terakhirkah? Entah..

Rabu, 08 Januari 2014