Sabtu, 08 Juni 2013

Tukang Sapu Jalanan





Pagi-pagi sekali ia sudah terlihat
Menancapkan kaki pada jalanan-jalanan yang sudah memanggilnya,
rindu katanya
Bergenggam tangan dengan sahabat jiwanya

Tak mempedulikan debu-debu liar yang mengelilinginya
Lalu perlahan-lahan menelusup masuk,
mengendap-endap menuju organ pernapasannya
Menjadikan tempat tinggal baru untuk dikuasai

Lagi-lagi, ia tak mempedulikan asap-asap yang kini bergelayut manja
Mengitarinya, menari-nari dengan lihainya
Seakan-akan ingin mengajaknya bermain yang tengah sibuk
Tak ada hal lain yang ia bawa, selain hitam pekat dirinya

Tapi, ia tetap gagah
Bersama sahabatnya itu sedari tadi
Terus terjun meneyelami jalan-jalan
Mengusir penjahat-penjahat
Yang setiap saat dapat saja membunuh, kami
Secara perlahan ...

Apa ? Ia melakukan itu untuk kami ?
Ya, untuk kami. Hanya demi kami
Simanusia yang tak pernah tahu diri
Hanya selalu menganggapnya rendah
Padahal belum tentu kami mampu
Melakukan apa yang tiap saat ia lakukan
Sekali lagi, hanya demi kami
Manusia-manusia yang tak tahu kata,
"terima kasih"

Sepenggal Cerita

Ketika tawa itu tak lagi renyah dan kesedihan itu mulai menamoakkan wajah sendunya. Bukan berarti kisah kita telah usai. Bukan berarti langkah kita telah selesai. Tahukah ? Ini sebaliknya. Kita 'kan memulai lembaran baru dibuku harian yang baru. Ceritanya tak lagi sama.

Terkadang, air mata itu bukankah awal untuk menggenggam kebahagiaan ? Kita menutup agar bisa membuka kembali, bukan ?

Kita merasakan sakit karena kita pernah merasakan bahagia, kan ?

Kita bertemu pasti akan berpisah. Tak ada yang abadi, sayang.

Tapi perpisahan itu mengajarkan kita betapa pentingnya pertemuan dan arti sebuah kebersamaan. Kita pergi dan akan kembali. Kita berpisah dan akan bertemu lagi meskipun dititik yang tak lagi sama.

Kamu. Aku ingin melihatmu menjadi seseorang yang kauimpikan dan kutunggu-tunggu tentang citamu. Aku ingin kita menjadi apa yang kita khayalkan selama ini. Agar tak menjadi sebuah angin yang tak sekedar menggesekkan tubuhnya dikulit, menggigilkan.

Kamu. Tentangmu yang selama ini menyelimuti hampir disetiap detik dalam separuh kisah ini. Kamu yang memberiku rasa sakit, kamu pula yang mengajarkanku bagaimana itu dewasa dalam bersikap. Kamu memberiku sebuah pelajaran yang tak akan pernah kulupa [mungkin], meski harus merasakan sakit yang teramat menyayat kalbu.

Tapi detik ini, dihari ini. Aku baru sadar bagaimana caranya mengikhlaskan. Hm mengikhlaskan ? Kamu tak pernah kumiliki. Hanya sepihak. Memilukan. Tapi setidaknya aku belajar melepaskan [meski] apa yang tak pernah ku genggam.

Terima kasih atas semua ceritamu dalam ceritaku. Terima kasih atas tatapan itu, senyum hangat dan genggaman tangan yang pernah kau berikan. Padaku. Untukku.


we'll meet again ya, du ...

syifamaudiyah:)

Ketika Kita Bertemu

Terkadang aku membayangkan hal-hal yang seharusnya tak boleh lagi aku masukkan dalam ingatanku dan imajinasiku. Tapi apa daya, otakku memerintahkan itu tapi nyatanya hatiku memilih lain. Terkadang manusia memang seperti itu.

Akhirnya, tiba juga kita dititik ini. Titik yang bertahun-tahun lalu tak pernah aku menyangkanya. Dan kini, waktu, keadaan, dan jarak yang berperan. Menyutradarai kita masing-masing. Menuju masa depan katanya. Yap, umur kita memang masih terbilang muda. Muda untuk meraih mimpi sebanyak-banyaknya. Bukan, ini bukan tentang mimpi sebagai bunga tidur. Tapi, mimpi sebagai impian. Bayangkan. Kamu mau jadi apa ? Indahkan ? Tentu, jika kamu bisa merangkainya dengan ikhlas.

Aku penasaran, bagaimana nanti kalau kita bertemu "lagi" ? Setelah bertahun-tahun tak bertatap muka dan bertukar kata. Jujur, yang kuharapkan seperti itu. Aku ingin menjauh dari semua kenangan membahagiakan sekaligus memilukan. Bersamamu. Bukan maksudku 'tuk tutup mulut dari pil pahit yang harus kuminum. Tapi, aku mencoba untuk menahannya sendiri ketika kuyakin ku masih mampu.

Hai, bagaimana ya kabarmu "nanti"? Apakah senyumanmu yang dulu masih bisa kunikmati ketika awal kita berkenalan. Senyuman yang terpancar dari bibir dan mata yang meneduhkan namun juga mematikan.

Bagaimana sikapmu nanti ketika berhadapan denganku ? Pura-pura tidak kenalkah ? Atau malah aku yang berpura-pura tidak mengenalmu. Oh tentu aku bisa melakukan itu. Karena yang selama ini aku lakukan adalah berpura-pura. Berpura-pura tak pernah menganggapmu ada. Berpura-pura tak mempedulikanmu. Tak menyayangimu. Dan berpura-pura tak pernah terganggu bahkan tersakiti oleh kehadiran sosokmu. Pahami. Aku adalah pretender yang sangat baik. Didepanmu. Hanya.

Kembali, aku masih penasaran ... bagaimana sosokmu kelak ? Bagaimana tubuh tegapmu ? Bagaimana lengan kokoh itu ? Bagaimana mata itu ?

Jujur ... aku sangat penasaran dengan peristiwa bertemunya aku dan kamu "kelak" ...